JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengingatkan bahwa revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan kebutuhan genting dalam memastikan upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan.
Berbagai kajian dan data menunjukkan bahwa UU ITE tidak memiliki kemampuan untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual dan eksploitasi terutama melalui penyebaran materi bermuatan seksual. Sebaliknya, justru membuat perempuan korban kekerasan seksual (KS) rentan mengalami reviktimisasi, bahkan kriminalisasi. Hal ini merisikokan pelaksanaan tanggung jawab konstitusional negara pada pemenuhan hak, terutama atas jaminan dan kepastian hukum, rasa aman, bebas dari diskriminasi dan kekerasan.
Catatan Tahunan 2021 menunjukkan lonjakan tajam angka pelaporan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di ruang daring (atau yang juga kerap disebut Kekerasan Berbasis Gender Siber/KBGS).
Pengaduan langsung ke Komnas Perempuan mengenai KBGS meningkat hampir 4 kali lipat, yaitu dari 281 menjadi 942 kasus. Sebanyak 454 kasus adalah KBGS di ranah publik, yang artinya 397 kasus lainnya merupakan KBGS di ranah personal, yaitu dilakukan oleh orang yang memiliki berhubungan perkawinan atau pertalian darah dan juga oleh mantan suami/pacar. Fakta bahwa mantan suami/pacar melanjutkan kekerasan terhadap mantan pasangannya di ruang siber, menunjukkan bahwa perceraian atau perpisahan pun tidak menjamin perempuan bebas dari kekerasan. Tubuh dan seksualitas perempuan menjadi alat kontrol dan balas dendam mantan suami/pacar.
Paling banyak kasus yang dilaporkan adalah ancaman dan dan tindakan penyebaran foto atau video bermuatan seksual, yang mengakibatkan korban dipermalukan bahkan berisiko berhadapan dengan hukum sebagai tersangka pelanggar aturan dalam UU ITE dan UU Pornografi. Bertambahnya jumlah perempuan yang berhadapan dengan hukum juga tampak dalam laporan kepolisian, sebagaimana dihimpun oleh SAFENET, di mana dalam rentang 2017 hingga 2020 terdapat 1.050 kasus terkait penyebaran kesusilaan (pornografi). Organisasi masyarakat sipil tersebut juga mencatat bahwa 31,5% dari kasus yang mereka advokasi adalah terkait kasus kesusilaan.
Dalam konteks kriminalisasi pada korban melalui penggunaan UU ITE, hasil pemantauan dan kajian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa bukan saja melibatkan perempuan korban kekerasan seksual ketika muatan seksual menyangkut yang melibatkan dirinya disebarkan melalui media sosial siber. Korban kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan di ranah personal lainnya juga berpotensi dikriminalkan ketika mereka menggunggah menuliskan kisah dan/atau aspirasinya tentang kasus yang dialaminya di media sosial. Sulit bagi perempuan korban untuk keluar dari jerat kriminalisasi, terutama ketika suami/pasangannya adalah pejabat publik atau elit sehingga dapat mengambil keuntungan sepihak dari relasi timpang antar mereka akibat kedudukan sosial dan konstruksi gender mengenai posisi perempuan dalam relasi personal.
Kriminalisasi perempuan korban kekerasan dengan menggunakan UU ITE dimungkinkan karena muatan UU ITE mengenai pasal terkait kesusilaan bersifat sumir dan perspektif penegak hukum serta masyarakat dalam kasus terkait kesusilaan cenderung memojokkan perempuan. Kondisi ini secara khusus merugikan perempuan yang oleh masyarakat dikonstruksikan sebagai simbol moralitas. Selain berhadapan dengan hukum, perempuan yang terjerat dengan UU ITE kerap harus menghadapi penghakiman masyarakat, bahkan keluarganya, terhadap dirinya.
Menyikapi situasi di atas, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Penghapusan KS) diharapkan dapat mengoreksi persoalan hukum ini selain menjadi payung hukum yang mengenali keragaman pengalaman kekerasan seksual terhadap perempuan di ruang siber. RUU Penghapusan KS telah ditetapkan bersama oleh Badan Legislasi DPR RI dan Pemerintah pada 9 Maret 2021 sebagai salah satu RUU yang masuk dalam Prolegnas 2021. Namun, hingga rilis ini disusun, belum ada keputusan hasil paripurna DPR RI. Padahal, pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak dibutuhkan sesegera mungkin demi pemenuhan hak-hak korban.
Di dalam kesepakatan Baleg DPR RI dan pemerintah, revisi UU ITE tidak menjadi bagian dari daftar yang diusulkan untuk Prolegnas 2021. Hal ini dikuatirkan akan mengakibatkan jumlah perempuan yang menjadi korban Kekerasan Seksual (KS) dengan menggunakan media online, serta reviktimisasi dan kriminalisasi perempuan korban Kekerasan Seksual (KS) dengan menggunakan UU ITE terus bertambah.
Bertolak dari pemikiran di atas, Komnas Perempuan mendukung upaya masyarakat sipil agar Pemerintah dan DPR RI mengadopsi revisi UU ITE menjadi bagian dalam program legislasi prioritas nasional 2021. (Komnas Perempuan)