MANOKWARI, JAGAINDONESIA.COM – Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat, Maxsi Nelson Ahoren, SE memberikan apresiasi kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua Barat karena telah bersikap tegas memberantas Tindak Pidana korupsi di Papua Barat.
Selaku pimpinan MRP-PB, dirinya sangat mendukung langkah Kejati untuk memberantas korupsi. Maxsi Ahoren berpendapat bahwa panggilan pertama dan panggilan kedua yang dilayangkan Kejati Papua Barat kepada pimpinan MRP dan Sekertaris MRP sudah dipenuhi.
Kehadiran pimpinan, seklis dan staf MRP-PB ialah untuk dimintai keterangan klarifikasi atas masalah di lembaga tersebut yang telah diadukan oknum anggota MRP-PB ke LP3BH Manokwari.
“Intinya bahwa kami dipanggil oleh penyidik Kejati Papua Barat bukan terkait kasus korupsi, tetapi masalah yang dilaporkan oleh oknum anggota MRP-PB ke LP3BH. Lalu ditindaklanjuti ke Kejati Papua Barat sehingga kami dimintai keterangan klarfikasi oleh penyidik Kejati” ungkap Ahoren kepada Jagapapua.com, Selasa (27/4).
Dalam masalah tersebut kata Ahoren, ada dua masalah yang dilaporkan ke LP3BH untuk diadvokasi dan dilaporkan ke Kejati Papua Barat. Pertama, terkait tunjangan anggota MRP. Kedua, potongan transportasi anggota MRP.
Terkait dua pengaduan ini, Ahoren tegaskan bahwa tunjangan yang dilaporkan adalah pemotongan transportasi anggota.
“sejujurnya didalam PP 54 jouto 64 tidak mengatur tentang adanya tunjangan transportasi” tegas Ahoren.
Katanya, selama kepemimpinan Ahoren di MRP, tidak pernah menerima tunjangan transportasi. Hal itu karena didalam aturan penggunaan anggaran MRP, biaya transportasi memang tidak ada. Bahkan didalam Pergub sendiri tidak tertulis tentang transportasi.
Ahoren mengatakan bahwa masalah yang dilaporkan adalah tahun anggaran 2019-2020, masing-masing 7 miliar. Sehingga total yang didugakan ialah Rp 14 miliar. Padahal didalam DPA sama sekali tidak ada tunjangan transportasi seperti tuduhan itu, kata Ahoren.
Oleh karena itu, Ahoren mengembalikan masalah ini kepada Kejati Papua Barat untuk memeriksa lagi kedalam DPA MRP tahun 2019 dan 2020.
“Sekali lagi saya tegaskan bahwa selama kepemimpinan saya tidak perna membahas masalah tunjangan transportasi. Bahkan didalam DPA lembaga dan sekertariatan tidak ada. Kalau pun ada kami tidak tahu. Selanjutnya kalau oknum MRP yang lapor masalah itu, ternyata bukan didalam DPA MRP, tetapi lihat didalam RKA (rancangan kegiatan anggaran) dan bukan DPA yang sudah ditetapkan. Padahal MRP sudah usulkan ke pemerintah untuk ada tunjangan transportasi, namun tidak pernah diterima pemerintah.” ungkap Ahoren.
Ahoren menyampaikan bahwa persoalan ini harus diklarifikasi ke publik agar diketahui oleh masyarakat tentang masalah tunjangan transportasi. Selain itu adanya pengaduan tentang potongan gaji, secara tegas, Ahoren mengutarakan bahwa gaji seluruh pimpinan dan anggota MRP tidak dibayar secara cash, melainkan masuk ke rekening masing-masing anggota.
“Jadi kalau gaji pimpinan dan anggota MRP tidak pernah dipotong, sebab gaji masuk ke rekening masing-masing anggota, sehingga tuduan bahwa saya memotong gaji tidak benar. Dengan demikian saya sarankan oknum anggota MRP yang sudah tuduh saya silahkan mengecek ke bank BNI, apakah ada pemotongan atau tidak” tegas Ahoren.
Kata dia, oknum anggota yang melaporkan masalah ini sendiri juga menikmati gaji melalui rekening masing-masing. Jikapun ada potongan, itupun untuk kegiatan yang dilakukan tetapi sudah melalui kesepakatan bersama dalam rapat.
“Contohnya kalau ada masayarakat adat yang datang minta bantuan gereja sering dibantu, namun pemotongan itu bervariasi, misalnya sumbangan paling besar 1 juta paling kecil 100 ribu.” Tambahnya.
Ia menyebut bahwa jika sumbangan kepada masyarakat adat yang meminta bantuan ke MRP sudah melalui kesepakatan bersama lewat rapat di lembaga.
Di kesempatan itu, Ahoren menyarankan kepada pihak LP3BH yang menerima pengaduan dari oknum anggota MRP-PB untuk mengkaji lebih dalam sebelum menjustifikasi lembaga MRP melakukan korupsi.
Selain tuduhan korupsi, oknum MRP-PB juga mengaku diancam oleh Ahoren. Ahoren meminta agar tuduhan tersebut dibuktikan dengan menyebutkan siapa yang mengancam dan bentuk pengancamannya. Jika, menegur, menurutnya hal itu adalah tugas dirinya selaku pimpinan.
“Sebagai pimpinan lembaga MRP wajar menegur anggota yang salah, lalu memberikan saran pendapat dalam bekerja di lembaga kultur ini. Bahkan ada oknum anggota yang sudah tidak masuk kerja selama 6 bulan, lalu apakah harus membiarkan, maka selaku pimpinan harus menegur.” katanya.
Ia pun akhirnya mengungkapkan bahwa aknum anggota MRP yang mengadukan hal tersebut merupakan angota MRP yang tidak aktif melaksanakan tugasnya sebagai anggota, namun menerima gaji setiap bulannya. Dengan demikian Ahoren menuntut pembuktian agar masyarakat tahu siapa yang salah. (WRP)