JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Pandemi Covid-19 memperparah tren Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Maraknya pemutusan hubungan kerja hingga kemiskinan yang disebabkan pandemi Covid-19 dapat menjerumuskan seseorang menjadi korban TPPO. Mirisnya, TPPO juga menjerat anak-anak dan keluarga. Oleh karenanya, tidak hanya aturan dan kebijakan saja yang dibutuhkan, namun juga sninergi, kolaborasi, dan gerakan dari tingkat keluarga untuk menekan bahaya TPPO.
“Krisis ekonomi yang muncul sebagai dampak dari pandemi Covid-19 membuat kemiskinan meningkat, sedangkan kemiskinan itu sendiri merupakan salah satu akar masalah dari TPPO. Kesulitan ekonomi adalah modus utama iming-iming yang diberikan kepada korban TPPO. Anak-anak dan keluarganya seringkali diiming-imingi dengan kehidupan yang lebih sejahtera. Terkadang, para pelaku memanfaatkan kerentanan-kerentanan seperti kemiskinan, atau keluarga yang terlilit hutang, sehingga mereka merasa tidak punya pilihan lainnya,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga pada Webinar Perdagangan Orang dalam Situasi Pandemi Covid-19 yang diselenggarakan oleh Kemen PPPA dan Yayasan Parinama Astha dalam rangka memperingati Hari Dunia Anti Perdagangan Orang (30/07).
Pemerintah sudah memiliki sejumlah kebijakan, aturan, dan program untuk menanggulangi permasalahan TPPO. Diantaranya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagai payung hukum, Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO (GT PP TPPO) yang dipayungi Perpres Nomor 22 Tahun 2021. Tidak hanya itu, saat ini juga sedang disusun Rencana Aksi Nasional (RAN) 2020-2024 dan Rencana Aksi Daerah (RAD) 2020-2024 GT PP TPPO.
Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) pada 2020 lebih dari 40 juta orang di dunia menjadi korban TPPO, dan 1 dari 4 korban tersebut adalah anak-anak.
“Penting bagi kita semua untuk bersinergi dan berkolaborasi dalam upaya menekan angka kasus-kasus TPPO di masyarakat. Tidak hanya melalui produksi berbagai aturan dan kebijakan di tingkat nasional, namun kita juga memerlukan satu gerakan masif dari tingkat keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat, untuk terus melakukan sosialisasi dan edukasi terhadap bahaya TPPO,” harap Menteri Bintang.
Pemutusan hubungan kerja, juga merupakan salah satu faktor yang membuat seseorang terjerat TPPO. Dilansir dari BPS (2021) saat ini terdapat 9,30 persen atau 19,10 juta penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19.
“Kasus TPPO selama pandemi Covid-19 tren nya justru semakin meningkat. Pekerja yang kehilangan pekerjaan karena pandemi Covid-19 bisa memutuskan untuk mengambil dana pinjaman yang dapat berujung pada ketergantungan utang, atau menerima pekerjaan yang tidak menguntungkan, dan dalam situasi tereksploitasi,” jelas Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan TPPO Kemen PPPA, Rafail Walangitan.
Walaupun tren TPPO meningkat di masa pandemi, namun hal tersebut tidak memadamkan niat baik dan semangat organisasi pemberi bantuan hukum dan penggiat untuk memberikan pendampingan bagi korban TPPO.
“Korban TPPO sejak pandemi selalu berdatangan silih berganti. Namun, kami tetap terima mereka di rumah aman dan berikan pendampingan hingga proses hukum selesai, dan mereka siap kembali ke kampung halaman atau memilih jalan lain, misalnya memilih tetap di tempat dan kami bantu mendapatkan pekerjaan yang jelas dan aman. Disamping itu, protokol kesehatan dan protokol pemberian bantuan hukum wajib dimiliki organisasi pemberi bantuan hukum dan para penggiat, sehingga memastikan kita semua aman dari Covid-19,” tegas Wakil Ketua Jaringan Nasional Anti TPPO, Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus.
Senada dengan Romo Chrisanctus, Koordinator Nasional ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking of Children for Sexual Purposes) Indonesia, Ahmad Sofian membenarkan bahwa dalam penegakan hukum TPPO kita juga perlu memerhatikan sarana dan fasilitas korban. Apalagi sistem peradilan di negara kita menghendaki korban hadir di pengadilan. Oleh karenanya, kita harus memerhatikan biaya Visum et Repertum, rumah aman, pendamping, serta fasilitas akses video conference bagi korban TPPO.
Meski Indonesia telah berkomitmen penuh dalam hal pencegahan dan pemberantasan TPPO melalui berbagai aturan dan kebijakan, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Livia Istania DF Iskandar mengatakan Masih ada beberapa tantangan dan permasalahan dalam menangani korban TPPO.
“Tantangan tersebut diantaranya belum adanya mekanisme yang akurat dan praktis untuk mengintegrasikan data antara LPSK, aparat penegak hukum, dan instansi terkait lainnya. Dalam perkembangan proses hukumnya, seringkali terjadi perubahan penggunaan pasal TPPO menjadi Tindak Pidana Penempatan Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri. Selain itu, selama proses hukum berlangsung saksi dan/atau korban tak jarang harus dipulangkan karena kondisi pandemi Covid-19. Hal ini tentu dapat menghambat proses hukum tersebut,” ungkap Livia. (KPPPA)