Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengecam aksi teror yang ditujukan kepada warga atas alasan apa pun. Sikap ini disampaikan atas aksi teror terhadap orang tua dan keluarga dari Veronika Koman (VK) pada Minggu, 7 November 2021.
Komnas Perempuan mendesak kepolisian agar mengusut tuntas dan memproses secara hukum pelaku teror dan memastikan perlindungan bagi orang tua dan keluarga VK dari segala bentuk ancaman dan tindakan kekerasan, serta kepada pemerintah untuk memastikan dukungan pemulihan bagi mereka. Hal ini juga dimaksudkan untuk memastikan penanganan teror kepada warga negara sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak asasi yang dijamin UUD NRI 1945 tentang rasa aman dan bebas dari penyiksaan.
Teror dalam berbagai bentuk intimidasi telah disasarkan kepada orang tua dan keluarga dari VK dalam tiga tahun terakhir. Aksi pelemparan bahan peledak pada Minggu tersebut hanya berselang dua minggu dari aksi sebelumnya berupa bungkusan yang digantung kemudian terbakar. Demikian juga aksi memata-matai rumah orang tua VK yang mengakibatkan sebagian tetangga merasa resah. Intimidasi juga dilakukan melalui media daring, termasuk dengan menyebarkan foto rumah orang tua VK di media sosial oleh akun anonim. Akibat rangkaian aksi teror tersebut orang tua VK, terutama ibunya, menjadi ketakutan dan trauma.
Teror yang disasarkan kepada orang tua dan keluarga VK tidak terlepas dari aktivitas VK, pengacara dan Perempuan Pembela HAM (PPHAM), yang terus menyuarakan kondisi pelanggaran HAM di Papua. Teror-teror tersebut merupakan bentuk kelanjutan dari intimidasi langsung kepada VK, khususnya melalui media daring. Penyerangan-penyerangan terhadap pribadi VK dilakukan dengan mengaitkan unsur ras, agama dan jenis kelaminnya. Dalam catatan Komnas Perempuan, sebagai PPHAM, VK telah mengalami kekerasan siber berbasis gender, terutama berupa ujaran kebencian dengan menyasar pada jenis kelamin atau gendernya sebagai perempuan (gender hate speech).
Komnas Perempuan juga mencatat berbagai bentuk kekerasan siber yang diarahkan pada VK, sebagaimana dilaporkan oleh Amnesty Internasional, antara lain trolling, peretasan/Cyber hacking, impersonasi, pengawasan, penguntitan siber/Cyber surveillance, konten illegal, pencemaran nama baik/online defamation, pesan seksual/sexting, pelecehan siber/cyber harassment, dan publikasi informasi pribadi/doxing. Semua serangan terhadap pribadi tersebut dimaksudkan untuk menekan dan membungkam VK agar menghentikan aktivitasnya dan menyerahkan diri atas tuduhan tindak pidana yang disangkakan terhadapnya.
Berdasarkan tujuan dari intimidasi kepada orang tua dan keluarga VK, yang sebetulnya diarahkan kepada VK, maka teror ini dapat menjadi sebuah bentuk pelanggaran hak asasi manusia berupa penyiksaan jika dilakukan atas sepengetahuan, atau dibiarkan oleh aparat negara. Hal ini sejalan dengan definisi penyiksaan sebagai dirumuskan dalam Pasal (1) Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, yang telah disahkan sebagai hukum nasional melalui UU No. 5 Tahun 1998. Penyiksaan dirumuskan sebagai:
“.. perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, [untuk] menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik.”
Konvensi Menentang Penyiksaan diratifikasi karena penyiksaan merupakan tindakan yang bertentangan dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang diteguhkan dalam Konstitusi RI. UUD NRI 1945 Pasal 28G ayat (2) menggarisbawahi bahwa bebas dari segala bentuk ancaman dan penyiksaan merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun. Hak perlindungan dari penyiksaan juga dinyatakan dalam Pasal 33 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 dan Pasal (7) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Sementara itu, kasus teror pada VK juga orang tua dan keluarganya menunjukkan keterhubungan ancaman dan kekerasan antara ruang nyata dan maya. Hal ini mengonfirmasi laporan Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan bahwa PPHAM menjadi target kekerasan, ancaman, dan pelecehan karena mengeluarkan pernyataan atau ekspresi yang berkaitan dengan kesetaraan dan feminisme, termasuk di ruang siber. Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 5 Juli 2018 juga telah mengadopsi resolusi mengenai “Promosi, Perlindungan dan Penikmatan Hak Asasi Manusia di Internet”, yang di antaranya membahas masalah spesifik kekerasan dunia siber dan ujaran kebencian siber terhadap perempuan, termasuk terhadap PPHAM. Berbagai laporan dan resolusi badan PBB itu menegaskan prinsip bahwa hak asasi manusia perlu dilindungi secara offline maupun online.
Berkenaan dengan kasus teror tersebut di atas dan mengingat negara mengemban tanggung jawab konstitusional dalam memastikan hak atas rasa aman dan bebas dari penyiksaan, maka Komnas Perempuan:
1. Menegaskan dukungan bagi Kepolisian RI untuk mengusut tuntas dengan seksama dan segera, aksi teror terhadap orang tua dan keluarga VK dan memastikan proses hukum terhadap pihak pelaku untuk memutus rantai impunitas dan mencegah keberulangan, termasuk aksi teror di ruang siber;
2. Mendorong Kepolisian RI dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk memastikan jaminan perlindungan dari berbagai bentuk ancaman baik secara offline maupun online terhadap orang tua dan keluarga VK sebagai wujud nyata kehadiran negara dalam memenuhi hak konstitusional tentang jaminan rasa aman dan perlindungan hukum. Perlindungan ini juga mencakup upaya pemulihan korban dari trauma atas teror yang dialami;
3. Merekomendasikan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KHAM) untuk memastikan perlindungan dan dukungan kepada PPHAM, dalam hal ini orang tua dan keluarga VK, sebagai upaya pelaksanaan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang pembela HAM;
4. Merekomendasikan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan dukungan pemulihan psikososial dengan memperhatikan kebutuhan dan kerentanan khusus dari perempuan, dalam hal ini ibu dan perempuan anggota keluarga VK;
5. Mengapresiasi penyikapan dari komunitas pembela HAM dalam memberikan dukungan kepada orang tua dan keluarga VK sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya pemajuan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia di Indonesia;
6. Mendesak media untuk turut menciptakan suasana yang mendukung jaminan pelindungan bagi orang tua dan keluarga VK, termasuk dengan mempertimbangkan risiko pemberitaan lokasi pada intimidasi yang lebih intensif.
7. Meminta masyarakat tidak terhasut untuk melakukan kekerasan, permusuhan dan diskriminasi terhadap VK dan keluarganya, termasuk dengan menggunakan media siber. (**)