Rabu, 27 November 2024
BerandaBerita DaerahJamin Hak Masyarakat Adat, Filep Uraikan Urgensi Perdasus Bagi Hasil Migas

Jamin Hak Masyarakat Adat, Filep Uraikan Urgensi Perdasus Bagi Hasil Migas

PAPUA BARAT – Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma SH., M.Hum menguraikan pentingnya penyusunan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) terkait pengaturan Bagi Hasil Migas dalam rangka pelaksanaan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Menurut Filep Wamafma, terdapat hak-hak masyarakat adat yang seharusnya dapat diperoleh melalui program pemberdayaan masyarakat adat berdasarkan Pasal 36 Ayat 2 huruf (d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 tentang tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang menyebutkan bahwa penerimaan bagi hasil migas dialokasikan sebesar 10% untuk belanja bantuan pemberdayaan masyarakat adat.

Selain itu, Filep mengatakan, hal ini didasarkan pada konsideran Menimbang UU Otsus Jilid 2 tentang perlunya upaya optimalisasi terhadap pengelolaan penerimaan guna implementasi Otsus di daerah dan didukung dengan PP Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua.

“Percepatan pembangunan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pelayanan publik serta kesinambungan dan keberlanjutan pembangunan di wilayah Papua, perlu dilakukan upaya untuk melanjutkan dan mengoptimalkan pengelolaan penerimaan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua secara akuntabel, efisien, efektif, transparan, dan tepat sasaran, serta untuk melakukan penguatan penataan daerah provinsi di wilayah Papua sesuai dengan kebutuhan, perkembangan, dan aspirasi masyarakat Papua,” bunyi konsideran tersebut.

Ia menjelaskan bahwa ketentuan Bagi Hasil Migas terdapat dalam Pasal 34 Ayat (3) Huruf b angka 4 dan 5 UU Otsus yakni bagi hasil sumber daya alam untuk pertambangan minyak bumi sebesar 70% dan pertambangan gas alam sebesar 70% yang berlaku sampai 2026 dan diperpanjang sampai 2041. Dalam pasal tersebut, disebutkan kemudian mulai tahun 2042 bagi hasil migas menjadi 50% untuk pertambangan minyak bumi dan 50% untuk pertambangan gas alam.

Sebagai contoh, potensi gas alam di Teluk Bintuni mencapai 14,4 trillion cubic feet (TCF) (2020). Pada tahun yang sama, Kabupaten Teluk Bintuni menerima Dana Bagi Hasil gas bumi sebesar Rp 368,9 M (tidak termasuk minyak).

“Jika mengikuti logika UU Otsus, maka seharusnya dana bagi hasil yang merupakan dana perimbangan itu, sebesar 70% dari hasil migas Bintuni diberikan kepada Bintuni, dan 30% kepada Pemerintah Pusat. Dari 70% yang diberikan itu, sebesar 10%-nya digunakan untuk pemberdayaan masyarakat adat. Dengan asumsi bhw Rp 368,9 M merupakan 70% dari hasil migas, maka peruntukan bagi masyarakat adat di Bintuni ialah 10% x 368,9 M = 36,89 M,” terangnya.

Akan tetapi, menurut Filep terdapat kekosongan hukum (rechts vacuum) yang mengatur ketentuan pembagian DBH tersebut. Ia mengatakan pada Lampiran PP Nomor 106 Tahun 2021 tidak mengatur secara detail terkait kewenangan Pemerintah Provinsi dalam pengurusan migas dan hanya mengatur hal umum terkait kewenangan Pemerintah Provinsi.

Oleh sebab itu, ia menekankan diperlukannya Perdasus yang mengatur secara terperinci terkait Bagi Hasil Migas guna mengisi kekosongan hukum tersebut. Selain itu, bagi hasil migas berkaitan dengan investasi di lebensraum (ruang hidup) masyarakat adat, maka harus ada pertanggungjawaban moral dan ekonomis.

“Maka pertanyaan tentang mekanisme pembagiannya, cakupan 10% tersebut, apakah dipisahkan dari pembayaran hak ulayat, dan dana CSR? dan terkait subyek penerima yakni masyarakat adat yang mana, apakah sesuai petunjuk dewan adat?, semuanya harus diatur dalam Perdasus,” ungkap Filep Wamafma yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua I Komite I DPD RI.

Lebih lanjut, menurutnya, Perdasus juga harus memuat tentang mekanisme pengawasan karena pada Pasal 34 ayat (14) UU Otsus belum dijelaskan terkait mekanisme pengawasan secara detail dan hanya menyebutkan bahwa pengawasan dilakukan secara koordinatif sesuai dengan kewenangannya oleh kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian, pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, dan perguruan tinggi negeri.

“Terkait subjek penerima 10% tersebut, apakah hanya masyarakat adat, ataukah juga masyarakat terdampak? Bagaimana peruntukannya bila sudah diterima oleh masyarakat adat? Bagaimana keberlanjutan penggunaannya? Maka hal ini juga harus diatur secara detail dalam Perdasus,” jelasnya.

Ia berharap, evaluasi dan perbaikan pada Otsus jilid I dapat dijadikan acuan untuk pelaksanaan Otsus Jilid II yang lebih baik. Menurutnya, harus ada kebijakan yang progresif dan sinergis dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten yang dibarengi dengan penguatan peran Dewan Adat sebagai mitra solutif Pemerintah.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terkini

- Advertisment -