PAPUA, JAGAINDONESIA.COM – Pernyataan Pangkostrad Letjen Maruli Simanjuntak yang menyebut kasus mutilasi 4 warga di Mimika bukan pelanggaran HAM berat menuai kritik dari sejumlah pihak. Bahkan, muncul desakan kepada Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa untuk menegur Pangkostrad atas pernyataan tersebut.
Reaksi ini datang dari Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay yang menilai pernyataan itu bertentangan dengan kesimpulan Komnas HAM Perwakilan Papua yang diperoleh dari penyelidikan.
Menurut Gobay, Pangkostrad wajib mendukung Komnas HAM RI dalam melakukan tugas penyelidikan pelanggaran HAM Dalam Kasus Pembunuhan dan Multilasi terhadap empat orang warga sipil Papua di Mimika sesuai perintah Pasal 89 ayat (3) huruf b, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Oleh sebab itu, Gobay mendesak Komnas HAM segera menetapkan kasus mutilasi 4 warga di Mimika, Papua sebagai pelanggaran HAM berat lantaran sesuai dengan kesimpulan yang didapat dari pemeriksaan Komnas HAM perwakilan Papua. Gobay meminta Komnas HAM Papua mengawal hingga tuntas penegakan hukum kasus tersebut.
“Komnas HAM RI segera menindaklanjuti kesimpulan Komnas HAM RI Perwakilan Papua terkait kasus pembunuhan empat warga merupakan kejahatan kemanusiaan dan memenuhi unsur pelanggaran HAM berat karena direncanakan dan dilakukan oleh aparat negara,” kata Emanuel, dalam keterangan tertulis, Sabtu (17/9/2022).
Hal senada diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Usman turut mengkritik pernyataan Pangkostrad yang dinilainya tak sensitif dengan penderitaan keluarga korban.
“Komentar-komentar Pangkostrad tidak sensitif pada penderitaan dan kesedihan yang dialami keluarga korban, yang anggota keluarganya dibunuh, dimutilasi, dan dibuang begitu saja,” kata Usman dikutip dari laman resmi Amnesty, Jumat (16/9/2022).
Menurut Usman, Pangkostrad tidak tidak berwenang untuk memutuskan apakah kasus di Mimika itu merupakan pelanggaran HAM berat atau tidak. Selain itu, ia mengatakan, Komnas HAM sedang melaksanakan investigasi terkait hal ini sehingga pernyataan Pangkostrad terkesan prematur dan dapat memperkeruh situasi.
“Tapi kalau langsung menyatakan kasus itu bukan pelanggaran HAM berat, itu wewenang Komnas HAM. Kalau petinggi TNI berpikir seperti ini, akan banyak pembunuhan di luar hukum oleh anggota TNI tidak terselesaikan secara tuntas,” tegasnya.
Lebih lanjut, menurut Usman, kasus itu patut diduga sebagai pelanggaran HAM berat karena diduga melibatkan enam anggota TNI, termasuk di antaranya dua orang perwira. Oleh sebab itu, kasus ini juga layak untuk diselidiki apakah ada rantai komando dalam kasus tersebut.
“Kami juga mendesak Komnas HAM untuk sesegera mungkin mengumumkan hasil penyelidikannya agar kasus ini bisa terselesaikan secara tuntas,” ujarnya. (UWR)