JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Kasus dugaan korupsi yang menjerat Gubernur Papua Lukas Enembe berbuntut panjang. Lukas Enembe diketahui belum memenuhi panggilan KPK hingga kini dengan alasan kondisi kesehatannya.
Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko turut memberi peringatan kepada Gubernur Lukas Enembe agar mematuhi proses hukum yang sedang berjalan. Moeldoko bahkan menyinggung bila perlu TNI dikerahkan untuk pemanggilan Lukas Enembe yang memiliki banyak massa pendukung.
“Soal Lukas Enembe, saya mungkin bisa lebih keras lagi berbicara, karena ini persoalannya soal hukum murni, bukan persoalan politik. Maka siapa pun harus mempertanggungjawabkan di hadapan hukum. Tidak ada pengecualian,” kata Moeldoko, Kamis (29/9/2022).
“Kalau mereka dalam perlindungan masyarakat yang dalam pengaruhnya Lukas Enembe, apa perlu TNI dikerahkan? Untuk itu, kalau diperlukan, ya apa boleh buat,” ujarnya.
Pernyataan Moeldoko ini menuai reaksi tegas dari Wakil Ketua Komite I DPD RI Filep Wamafma. Anggota DPD RI asal Papua Barat ini memberikan komentar menohok.
“Dalam posisi sebagai KSP, Moeldoko seharusnya memberikan komentar yang menyejukkan. Situasi yang sedang memanas di Papua tidak perlu dikomentari secara berlebihan, apalagi dalam kapasitas sebagai KSP,” kata Filep, Kamis (29/9/2022).
“Jika ini murni penegakan hukum, kenapa KSP ikut campur? Lagipula KSP tidak punya wewenang apapun terkait penegakan hukum. Kita lihat Pasal 2 Perpres Nomor 83 Tahun 2019 tentang Kantor Staf Presiden menegaskan bahwa Kantor Staf Presiden mempunyai tugas menyelenggarakan pemberian dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan pengendalian program-program prioritas nasional, komunikasi politik, dan pengelolaan isu strategis. Pasal 3 juga menerangkan hal yang sama,” terang senator Filep.
Oleh sebab itu, Filep menekankan, wilayah KSP berada pada bagian komunikasi politik dan tidak mengurus penegakan hukum, apalagi mengatur TNI. Menurutnya, tidak ada satu pasal pun dalam Perpres Nonor 83 Tahun 2019 yang menyebutkan kewenangan KSP mengatur TNI.
Lebih lanjut, anggota Komite I DPD RI ini menyayangkan pernyataan Moeldoko yang seolah memberi ruang bagi kehadiran TNI dalam kasus Lukas Enembe.
“Pak Moeldoko sebagai seorang mantan Panglima TNI, pasti tahu tupoksi dan wewenang TNI. Jadi berkomentar tentang diperlukannya TNI itu hanya menimbulkan trauma politik yang baru,” kata Filep menambahkan.
“Sudah jadi rahasia umum bahwa pendekatan militer di Papua masih menuai pro-kontra. Terlebih, sakit hati atas kematian orang Papua karena ulah oknum tertentu, misalnya kasus mutilasi, kasus Paniai, dan pelanggaran HAM lainnya, juga masih membekas. Lantas kenapa harus membuat narasi baru tentang diperlukannya TNI dalam kasus masyarakat sipil?”, tanya Filep.
Menurut mantan anggota Pansus Papua ini, pernyataan Moeldoko itu tidak selayaknya diutarakan dalam situasi Papua saat ini.
“Sebagai wakil rakyat, saya mengingatkan pihak manapun di negara ini, agar jangan membenturkan TNI dan masyarakat Papua. Sudah banyak luka di Tanah Papua karena konflik vertikal semacam itu,” tegas Filep lagi.
Alumnus Doktor Unhas ini berharap agar semua pihak menahan diri dan membiarkan penegak hukum menjalankan tugasnya.
“Kita serahkan semua pada kerja penyidik. Setiap komentar, apalagi dari pejabat publik, akan sangat berdampak bagi kedamaian Papua,” pungkas Filep.