JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Senator Filep Wamafma menyoroti data DJPK Kementerian Keuangan tahun 2022 yang menyebutkan bahwa belanja urusan pendidikan dalam rangka melaksanakan Otsus Papua di Papua dan Papua Barat diperkirakan turun di atas 1 triliun rupiah.
Data DJPK Kementerian Keuangan menunjukkan belanja urusan pendidikan dalam rangka melaksanakan Otsus Papua di Provinsi Papua diperkirakan turun sebesar 27,08 persen menjadi Rp1,30 triliun per tahunnya. Sementara di Papua Barat diperkirakan turun 16,64 persen menjadi Rp1,13 triliun per tahun yang diperoleh dari DOK specific grant sebesar Rp612,36 milyar, DBH SDA Gas Alam sebesar Rp403,97 milyar, dan DBH SDA Minyak Bumi sebesar Rp119,95 milyar.
Terkait hal itu, Filep mempertanyakan apakah penurunan belanja pendidikan itu menunjukkan telah membaiknya pendidikan di tanah Papua dan telah mewakili kebutuhan nyata yang ada di tengah masyarakat. Menurutnya, hal ini perlu dikaji lebih dalam.
“Kita sama-sama tahu bahwa ada kesenjangan di ranah pendidikan baik akses maupun mutu antara kondisi pendidikan di Tanah Papua dengan daerah lain. Kita lihat data BPS dalam 5 tahun terakhir 2017-2021, Angka Partisipasi Sekolah (APS) tingkat SD dan SMP di Papua dan Papua Barat masih terendah jika dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia, bahkan masih dibawah rata-rata APS Nasional. Masalah ini kan berdampak pada IPM Orang Papua yang selalu terendah. Kalau begitu, mengapa justru belanja pendidikan ini diturunkan?” tanya Filep, Selasa (11/10/2022).
Anggota DPD RI ini pun menyoroti permasalahan pendidikan di Papua ini melalui peruntukan belanja pendidikan. Ia memaparkan sejumlah data terkait pola belanja beberapa sektor di Papua dan Papua Barat.
“Sekarang coba kita jujur, di Papua dan Papua Barat, porsi belanja pegawai masih mendominasi dengan persentase tertinggi selama 5 tahun terakhir (2017 s.d 2021). Sebagai misal, data yang diperoleh dari Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa di Papua, rata-rata persentase belanja urusan pendidikan tertinggi yaitu belanja pegawai (41,83%), diikuti belanja barang dan jasa (15,72%), belanja modal sebesar 18,90 persen, dan belanja lainnya sebesar 23,55 persen,” ujarnya.
“Pola belanja yang sama juga dipraktikkan di Papua Barat, dimana rata-rata belanja pegawai (41,16%), diikuti belanja barang dan jasa (25,21%), belanja modal (17,93%), dan belanja lainnya (15,70%). Besarnya porsi belanja yang dipraktikkan ini menunjukkan bahwa, fokus belanja masih diarahkan pada belanja operasional dan administrasi pegawai. Kalau porsi belanja pegawai begitu besar, ya tentu saja pendidikan di Papua sulit bisa maju,” tegas Filep.
Selain itu, Filep menuturkan, angka putus sekolah di Papua masih tinggi. Bahkan, pada tahun 2021, angka putus sekolah pendidikan dasar di Tanah Papua merupakan yang terbanyak setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Begitu pula pada tingkat SMP baik di Papua maupun Papua Barat masih banyak yang tidak melanjutkan pendidikan.
“Ini menunjukkan bahwa anak usia sekolah yang telah memiliki akses layanan pendidikan pun, masih rentan untuk ‘terlempar’ dari pendidikan formal. Ini karena tata kelola pendidikan masih lemah, terutama transparansi dan akuntabilitas, rendahnya sistem pengendalian manajemen pendidikan, terutama sistem informasi manajemen sekolah yang tidak bekerja dengan efektif, dan lemahnya efisiensi penggunaan SDM. Masalah-masalah ini yang harus jadi perhatian, jadi bukan malah mengurangi belanja pendidikan,” terang Filep.
Tak hanya itu, Filep Wamafma juga menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan di tanah Papua juga telah dijamin dan diatur dalam tata aturan yang ada terutama Pasal 31 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.
Filep menambahkan, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga memperkuat amanat itu. Selanjutnya, ia mengatakan, dalam konsep Otsus Papua dan Papua Barat, aspek pendidikan menjadi satu bagian penting dalam rangka melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar Orang Asli Papua (OAP), baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya.
“Ada juga dalam beberapa pasal dalam UU Otsus. Pertama, Pasal 34 ayat (3) huruf c angka (2) UU Nomor 21 Tahun 2001 (UU Otsus lama) menyebutkan bahwa penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% dari plafon DAU Nasional, terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Kedua, Pasal 34 ayat (3) huruf e angka (2) huruf a UU Nomor 2 Tahun 2021 (UU Otsus Perubahan) menyebutkan bahwa penerimaan yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan sebesar 1,25% dari plafon DAU nasional ditujukan untuk paling sedikit 30% untuk belanja pendidikan,” jelasnya.
“Lalu ketiga, Pasal 36 UU Otsus Perubahan yang menegaskan bahwa penerimaan terkait dana perimbangan dari bagi hasil Sumber Daya Alam (SDA) minyak bumi dan gas alam sebesar 70% dialokasikan sebesar 35% untuk belanja pendidikan. Semua dana yang besar itu semakin menunjukkan apakah kebijakan penurunan belanja pendidikan itu sudah tepat?”, demikian tanya Filep lagi.
Bahkan, lanjut Filep, PP No. 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua dalam bagian Lampiran tepatnya di angka 1 huruf d, menegaskan secara definitif kewenangan Pemerintah Provinsi Papua dalam hal manajemen pendidikan, yaitu menyediakan pembiayaan penddidikan yang diprioritaskan untuk menjamin setiap OAP agar memperoleh pendidikan mulai PAUD sampai pendidikan tinggi, ‘tanpa dipungut biaya’.
“Ini kan jelas titik afirmasinya. Jadi menjadi aneh jika kemudian belanja pendidikan diturunkan. Bahkan di beberapa aturan sebelumnya juga menuntut adanya affirmative actions bagi pendidikan OAP. Tapi kenapa malah belanja pendidikan dikurangi? Apakah pengurangan itu menandakan pendidikan di Papua sudah maju?” tegas Filep lagi.
Oleh sebab itu, Senator Papua Barat ini berharap jangan sampai penurunan belanja pendidikan ini berimbas pada kemajuan pendidikan di Papua. Ia mengajak semua pihak terkait untuk meningkatkan perhatian dan pelaksanaan yang tepat pada sektor pendidikan OAP demi kemajuan masyarakat Papua.