JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Senator Filep Wamafma memberikan respons tegas terhadap proses maupun mekanisme pengesahan regulasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) saat Badan Legislasi (Baleg) DPR menyepakati perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) menjadi sembilan tahun dan dapat dipilih dua kali.
Dalam hal ini, Filep menilai DPR tidak seharusnya memutuskan secara sepihak persoalan perpanjangan masa jabatan tersebut. Ia pun menyoroti kewenangan DPD RI yang sering disepelekan. Adapun kesepakatan itu disampaikan dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Penyusunan RUU Perubahan Kedua UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa di Baleg DPR pada Kamis, 23 Juni 2023 lalu.
“Apa yang dilakukan kawan-kawan di DPR itu merupakan pelanggaran terhadap amanat Konstitusi. DPR harus mendengarkan pandangan DPD RI. Sudah jelas, kedua lembaga ini berdiri dalam ruang bikameral untuk menjaga keseimbangan kuasa legislasi,” kata Filep dalam keterangannya, Selasa (27/6/2023).
Pimpinan Komite I DPD RI ini menjelaskan bahwa perubahan suatu UU, termasuk UU Desa misalnya terkait masa jabatan kades, harus mengikuti prosedur hukum. Secara administrasi negara, proses perpanjangan jabatan itu tidak memenuhi syarat pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Lalu, akibatnya secara legalitas, kepala desa di kemudian hari bisa saja berhadapan dengan masalah hukum baik pidana maupun administrasi negara. Oleh sebab itu, persolan mekanisme regulasi ini perlu kita ingatkan, karena kita berharap para kades jangan sampai terjerat masalah hukum nantinya,” ungkap Filep.
“Dalam hal ini, DPR juga seolah-olah menyepelekan kewenangan DPD RI. Kewenangan DPD dalam hal legislasi juga sudah jelas yakni sesuai amanat Konstitusi di Pasal 22D yang dikuatkan dengan Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 dan Nomor 79/PUU-XII/2014 yang secara jelas menegaskan bahwa kewenangan DPD dalam mengajukan RUU diposisikan sama dengan DPR dan Pemerintah,” jelasnya menambahkan.
Filep menuturkan, DPD juga berwenang membahas RUU yang meliputi semua tahapan dan proses pembahasan RUU sampai dengan sebelum tahap persetujuan. Kemudian dalam pembahasan, terdapat mekanisme tripartit untuk hal-hal yang berhubungan dengan otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Menurut Filep, tentu saja hal-hal tersebut bersentuhan dengan eksistensi Desa.
“Sekali lagi, persetujuan DPR RI soal perpanjangan masa jabatan kades, tanpa meminta pandangan DPD RI merupakan pelanggaran terhadap Konstitusi dan sekaligus putusan-putusan MK. DPR RI seperti merasa sebagai lembaga super power legislatif, yang sebenarnya oleh Konstitusi dan Putusan MK telah direduksi menjadi kuasa legislatif bikameral. Kalau DPR buat hal begini, sama saja dengan merusak marwah legislatif. DPR lupa ada mekanisme checks and balances dari DPD RI dalam fungsi pengawasan,” tambah Pace Jas Merah ini.
Filep lantas mengingatkan, di tahun 2021 yang lalu, DPD RI dalam suatu Sidang Paripurna, mengesahkan RUU Perubahan Kedua tentang Undang–Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, lantaran masih menemukan berbagai permasalahan dan kendala terkait UU Desa diantaranya terkait kewenangan desa, penyelenggaraan pemilihan kepala desa, penyusunan perangkat desa, fungsi Badan Permusyawaratan Desa, peraturan desa, majelis perdamaian desa, dan keuangan desa.
“Lalu sekarang DPR RI langsung setuju perpanjangan masa jabatan kades tanpa pandangan DPD, menurut saya ini merupakan tindakan otoritarian legislatif. Ini sama sekali tidak sehat untuk demokrasi dan ini melanggar Konstitusi. Jangan karena nafsu kuasa legislatif ditambah nafsu politik, lalu bisa dengan mudah menerobos regulasi,” pungkasnya.