JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma menyampaikan secara langsung laporan hasil advokasi terkait persoalan yang dialami masyarakat terdampak operasional BP Tangguh di Kabupaten Teluk Bintuni kepada Menko Polhukam Mahfud MD, pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) hingga Badan Intelijen Negara (BIN).
“Tujuan penyerahan hasil advokasi ini adalah untuk mendorong pemerintah dalam hal ini Menko Polhukam, Pak Mahfud untuk mendalami sekaligus membentuk tim investigasi terkait temuan advokasi kami di BP Tangguh Bintuni,” ujarnya kepada media ini, Jumat (7/7/2023).
“Tim investigasi ini harapannya dapat menyelidiki lebih jauh, mencatat, merekam fakta hingga melakukan peninjauan atas temuan masalah ini dari berbagai aspek, termasuk aspek dugaan pelanggaran HAM serta dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan atas nama Program CSR di Bintuni Papua Barat,” sambungnya.
Dalam kesempatan ini, Filep memaparkan sejumlah data dan bukti temuannya yang disampaikan pada saat rapat kerja Komite I DPD RI dengan Menkopolhukam beserta jajarannya beberapa waktu lalu.
“Sebagai wakil rakyat, sudah menjadi tanggung jawab kami untuk menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat, terutama saat saya terjun langsung ke daerah-daerah terdampak operasional BP LNG Tangguh Bintuni, mendapati secara langsung kondisi masyarakat yang sangat memprihatinkan. Tentu kami tidak tinggal diam atas kondisi ini,” ungkap Filep.
Atas persoalan tersebut, Filep mengungkapkan, pemerintah berkewajiban ikut turun tangan lantaran mengemban amanat konstitusi UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menegaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Menurutnya, amanat itu sudah seharusnya diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk dalam keterkaitan antara investasi dan hak-hak masyarakat adat, dalam hal ini masyarakat adat di Teluk Bintuni.
“Perusahaan besar migas itu sudah sangat lama beroperasi di Bintuni, tentu telah memperoleh banyak keuntungan juga. Namun pertanyaan mendasar terbesar ialah, apakah kehidupan masyarakat adat di daerah terdampak eksplorasi dan eksploitasi Tangguh sudah mendapatkan hak-hak konstitusionalnya dan hak-hak tradisionalnya sesuai amanah UU?” ucapnya.
“Sederhananya, apakah masyarakat adat di Bintuni telah sejahtera lahirbatin dengan kehadiran BP Tangguh? Atau jika dibalik, apakah klaim BP Tangguh di berbagai media terkait keberhasilannya, benar-benar sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan? Untuk semua pertanyaan tersebut-lah, maka advokasi ini dilakukan. Jadi atas dasar Konstitusi, advokasi ini bertujuan meminta pertanggungjawaban BP Tangguh dan Pemerintah, atas diabaikannya hak-hak masyarakat adat di wilayah terdampak BP Tangguh,” tutur Filep.
Dalam laporan hasil advokasinya, Pimpinan Komite I DPD RI ini menjabarkan secara terperinci temuan-temuan fakta di lapangan hingga kesaksian-kesaksian masyarakat setempat termasuk mantan karyawan BP Tangguh Bintuni. Dalam paparannya, Filep menampilkan perbandingan antara klaim kontribusi yang dipublikasikan BP Tangguh dengan temuan fakta dan data di lapangan.
Paparan hasil temuan advokasi ini terbagi dalam 5 poin yakni tentang (1) Klaim Transparansi Tanggung Jawab Sosial (TJD/CSR) BP Tangguh, (2) Klaim Peran BP Tangguh dalam Bidang Kesehatan, (3) Klaim Peran BP Tangguh dalam Bidang Pengembangan Masyarakat dan Kewirausahaan, (4) Klaim Peran BP Tangguh dalam Bidang Tenaga Kerja, dan (5) Klaim BP Tangguh dalam Bidang Pendidikan.
Terhadap klaim CSR BP Tangguh, salah satu diantaranya Filep menitikberatkan pada sumber dana CSR BP Tangguh yang selama ini disebutkan dengan kalimat “BP dengan dukungan SKK Migas, atau BP dengan Dukungan Pemerintah”.
“Frasa ini menutupi informasi tentang sumber dana CSR yang berasal dari cost recovery, yang mengurangi penerimaan negara dan Dana Bagi Hasil Migas Daerah. Ketidaktransparanan BP mengenai sumber dana CSR BP ini telah membohongi publik seolah-olah dana CSR BP bersumber dari keuntungan BP, padahal dana CSR harusnya dikeluarkan tersendiri dari total keuntungan BP Tangguh bukan menggunakan cost recovery,” jelasnya.
Di bidang kesehatan, Filep menyoroti ketimpangan antara klaim dan fakta di lapangan. Masalah air bersih, keterbatasan fasilitas kesehatan hingga akses transportasi untuk berobat yang nyatanya masih menjadi kendala masyarakat.
“Misalnya kesaksian mantan Security BP Tangguh dari Suku Asli Sebyar, yang menyatakan masyarakat hanya berharap dari air hujan karena tidak ada program air bersih yang dijalankan oleh BP Tangguh. Sama dengan esaksian, mantan karyawan BP Tangguh Suku Asli Sebyar, yang mengatakan, memang ada renovasi rumah dan pemberian tangki air, namun itu untuk tadah hujan dan tidak ada program air bersih, padahal di BP Tangguh sendiri ada air bersih yang melimpah. Masyarakat terpaksa minum air hujan dan air kali yang tidak higienis,” paparnya.
Pada bidang pengembangan masyarakat dan kewirausahaan, Filep mengkritisi klaim dampak operasional Proyek Tangguh LNG yang menyebut besarnya nilai kontrak yang mencapai Rp 4 Triliun dengan 30 perusahaan asal Papua yang terlibat dalam rantai pasok Proyek Tangguh periode 2006-2019.
Selanjutnya, senator Papua Barat ini juga menyoroti klaim BP perihal jumlah tenaga kerja asli Papua yang jumlah terbesar pekerja OAP masih berada di wilayah unskilled labour atau tenaga kerja tidak terlatih. Sementara belum banyak tenaga kerja OAP yang berada pada level manajerial maupun supervisor.
Filep lantas membandingkan data BPS dengan klaim BP Tangguh tentang Angka Harapan Lama Sekolah tahun 2020 yang disebut naik 3 kali lipat dibandingkan pada tahun 2009. Namun cross-check data itu justru tak menemukan kesesuaian. Kemudian, dirinya mengungkap temuan-temuan masih banyaknya sekolah yang tak layak hingga belum adanya TK Negeri maupun SMA Negeri di beberapa daerah setempat.
Oleh sebab itu, melalui Laporan Advokasi ini, Filep Wamafma kembali menegaskan untuk meminta kepada Pemerintah agar mengaudit seluruh dampak keberadaan BP Tangguh, dan mengambil langkah-langkah konkret lain yang diperlukan, guna mengembalikan dan merestorasi hak-hak masyarakat adat dan masyarakat terdampak yang dilanggar.
“Laporan advokasi ini merupakan bentuk pembelaan yang dilindungi oleh Konstitusi, dan merupakan bentuk penghormatan kami kepada negara republik Indonesia,” pungkasnya.