JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Seorang ahli pertahanan dan ekonomi-politik, Made Supriatma dari ISEAS-Yusof Ishak Institute menyampaikan hasil riset dan keterangannya terkait pengerahan aparat atau operasi yang dilakukan di Papua dan kaitannya dengan aktivitas bisnis.
Dalam siaran pers KontraS (25/9/2023), Made Supriatma menerangkan bahwa pada dasarnya pengerahan aparat atau operasi dilakukan di Papua setidaknya untuk tiga tujuan yakni pengamanan perbatasan, pengamanan daerah rawan dan pengamanan Objek Vital Nasional (Obvitnas).
Kemudian, berdasarkan riset dan pengamatan yang dilakukannya, terdapat pengerahan pasukan yang dilakukan sekitar 9000 – 12000 dari luar Papua yang seharusnya dibawah kendali operasi. Hingga saat ini, Made menyatakan bahwa berbagai operasi tersebut tidak memiliki dasar hukum atau illegal. Hal ini melanggar UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang mewajibkan adanya mekanisme keputusan politik negara sebelum dilakukannya operasi militer.
Penjelasan Made Supriatma ini disampaikan saat dirinya menjadi saksi ahli dalam sidang kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar pada agenda pemeriksaan ahli yang meringankan (a de charge). Kasus ini dilaporkan Luhut yang mempermasalahkan isi podcast yang berjudul “ADA LORD LUHUT DIBALIK RELASI EKONOMI-OPS MILITER INTAN JAYA!! JENDERAL BIN JUGA ADA!! NgeHAMtam” dalam youtube Haris Azhar.
Pada siaran pers itu disebutkan dalam judulnya bahwa ‘Keterangan Ahli Militer Made Supriatma Melegitimasi Terdapat Operasi Militer Ilegal di Papua dan Kaitannya dengan Aktivitas Bisnis’.
“Pada persidangan 25 September 2023, kami menghadirkan satu orang ahli pertahanan dan ekonomi-politik yakni Made Supriatma dari ISEAS-Yusof Ishak Institute,” ujar Tim Advokasi untuk Demokrasi, dikutip Rabu (27/9/2023).
“Lebih jauh, ahli menjelaskan banyak pasukan dan pos-pos militer yang dibuat, tetapi tidak diketahui tujuannya. Mereka diterjunkan ke Papua tetapi tidak secara spesifik ditujukan untuk pengamanan kelompok/gerakan separatis. Selain itu, Ahli Made menyinggung skema pembiayaan dari suatu operasi atau penerjunan aparat. Idealnya, pembiayaan pengerahan tersebut ditanggung oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), akan tetapi banyak pendanaan pada praktiknya justru dilakukan oleh pihak swasta yang tentu saja merupakan tindakan melanggar hukum. Hal ini pada akhirnya melanggengkan praktek bisnis-militer,”
Secara historis, disebutkan bahwa bisnis militer lahir karena militer tidak dapat membiayai seluruh anggaran yang diperlukan termasuk penyediaan fasilitas dan keperluan lainnya. Sehingga, banyak intervensi khususnya dari perusahaan yang menjalankan aktivitas bisnis membiayai keperluan operasi tentara di lapangan. Padahal seharusnya institusi TNI harus membiayai dirinya sendiri yang bersumber dari APBN.
Lebih lanjut, berdasarkan keterangan ahli Made dinyatakan bahwa selama ini tidak terlalu jelas yang mengontrol penempatan pasukan di Papua. Dari riset yang dilakukan oleh Ahli, Tim Advokasi untuk Demokrasi menyebutkan bahwa dalam banyak kasus, ketika terjadi insiden kontak tembak, Pangdam Cenderawasih bahkan tidak tahu menahu soal penempatan militer di lokasi tersebut.
“Dari fenomena ini, dapat dinyatakan bahwa terdapat kemungkinan pengaruh pihak-pihak lain dalam penempatan militer, tidak terkecuali Purnawirawan yang berbisnis,” sebutnya.
Selain itu, dijelaskan bahwa dalam penelusuran yang ahli lakukan, orang-orang yang duduk di pemerintahan dapat memiliki pengaruh kuat dalam pengerahan militer dalam berbagai kepentingan.
“Akan tetapi penempatan dan pengerahan militer tidak sepenuhnya transparan. Dalam beberapa kesempatan, ketika Ahli meminta ke berbagai pihak terkait tentang jumlah pasukan yang ada, data tersebut selalu dikategorikan sebagai rahasia negara. Selain itu penempatan militer selama ini dilakukan tanpa proses evaluasi yang memadai,” katanya.
“Berdasarkan keterangan ahli, jika dilihat dari jumlahnya, persentase penempatan militer di Papua sangat besar yakni 15 orang per 1000 penduduk di saat di daerah lain hanya 0,7 prajurit per 1000 penduduk. Sementara itu, dalam konteks akademik, dapat dibuat hipotesis awal, banyaknya pasukan yang ditempatkan di Papua memiliki dugaan kuat keterkaitan dengan aktivitas pengamanan bisnis,” tambahnya.
Menurut Tim Advokasi, Made pun turut mengomentari apa yang disampaikan Haris dan Fatia dalam podcast bahwa berbagai informasi yang disampaikan merupakan hal-hal yang juga telah diketahui.
“Ahli pun menegaskan bahwa sampai sejauh ini tidak ada dampak ekonomi yang muncul akibat dari penempatan militer di Papua. Berbagai aktivitas yang ada justru berimplikasi negatif seperti pelanggaran HAM. TNI bahkan juga menduduki fasilitas sipil seperti sekolah, rumah sakit dan gereja,” tutupnya. (UWR)