Rabu, 27 November 2024
BerandaBerita DaerahInstruksi Kapolda Papua Barat Usai Bentrok TNI-Brimob Hingga Respons Komnas HAM Soal...

Instruksi Kapolda Papua Barat Usai Bentrok TNI-Brimob Hingga Respons Komnas HAM Soal Penyebutan KKB Jadi OPM

JAGAINDONESIA.COM – Kapolda Papua Barat, Inspektur Jenderal Polisi Johnny Eddizon Isir mengeluarkan perintah tegas kepada seluruh anggota Polri di wilayah Kota Sorong usai bentrok oknum Brimob dengan sejumlah personel Polisi Militer TNI AL (Pomal) Lantamal XIV/Sorong.

Bentrok antara sejumlah personel Polisi Militer TNI AL (Pomal) Lantamal XIV/Sorong dengan anggota Brimob Polda Papua Barat Batalyon B Sorong itu terjadi Minggu (14/4/2024) pagi sekitar pukul 09.30 WIT.

Dugaan kuat yang mengemuka soal penyebab bentrok yakni terjadi salah paham antara oknum anggota Brimob dan Pomal TNI AL di Pelabuhan laut Sorong yang berdampak pada perkelahian. Akibatnya sejumlah personil dari kedua pihak mengalami luka-luka.

Tak hanya itu, bentrokan juga mengakibatkan sejumlah fasilitas turut dirusak, seperti Terminal Pelabuhan Laut Sorong, Polsek KP3 Laut, Pos Lantas Drive Thrue Kuda Laut. Selain itu, 2 Pos Pengamanan Idul Fitri Polresta Sorong Kota di Jalan Yos Sudarso, Kampung Baru.

Pasca kejadian ini, Irjen Pol Johnny Edison memerintahkan agar seluruh anggota Polri di wilayah tersebut tidak melakukan gerakan tambahan dan memelihara situasi tetap aman serta kondusif.

“Personel Polri yang ada di Kota Sorong sudah saya perintahkan, masalah sudah selesai. Jadi jangan bikin tambah-tambah lagi,” tegas Kapolda Papua Barat di Sorong, dikutip dari Antara Senin (15/4/2024).

Dia menegaskan bahwa pasca-bentrok itu langsung diikuti dengan penyelidikan secara utuh dari fungsi-fungsi yang ada supaya bisa mendapatkan titik terang dari asal mula kejadian itu kemudian akan diikuti dengan sebuah sanksi keras terhadap anggota jika terbukti terlibat aktif.

Menurutnya, situasi kamtibmas di wilayah Kota Sorong saat ini telah kembali kondusif. Ia meminta agar situasi ini terus dipelihara dengan baik. Kapolda juga memastikan kasus bentrok ini akan diselesaikan secara tuntas dengan upaya pendekatan penyelidikan yang sedang berlangsung.

“Kami dari Polda akan melakukan penyelidikan secara tuntas dan utuh, selain mencari solusi penyelesaian tetapi juga membangun konsolidasi untuk tetap menjaga kamtibmas di wilayah Kota Sorong,” ujarnya.

Penyebutan KKB/KST berubah menjadi OPM

Sementara itu baru-baru ini, TNI kembali menyebut kelompok bersenjata di Papua dengan nama Organisasi Papua Merdeka atau OPM. Istilah yang sebelumnya dipakai oleh TNI adalah kelompok separatis teroris (KST), sementara Polri menggunakan istilah kelompok kriminal bersenjata (KKB).

Penyebutan OPM tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Panglima TNI Nomor STR/41/2024 tertanggal 5 April tahun 2024. Yakni dengan alasan kelompok bersenjata di Papua menamakan dirinya sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sama dengan OPM.

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengatakan kelompok bersenjata itu menyebut diri mereka Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), yang merupakan bagian dari OPM.

“Jadi dari mereka sendiri menamakan mereka adalah TPNPB, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sama dengan OPM,” ucap Agus dalam jumpa pers di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (10/4).

Agus pun menekankan TNI akan menindak tegas OPM. Ia menyebutkan keberadaan TNI di Papua merupakan operasi yang dilakukan oleh pemerintah. Menurut dia, tiap wilayah punya karakter kerawanan dan TNI memiliki metode penyelesaian yang disesuaikan.

“Saya akan tindak tegas untuk apa yang dilakukan oleh OPM. Tidak ada negara dalam suatu negara!” tegasnya.

“Namanya operasi itu, dalam suatu wilayah itu ada operasi teritorial, intelijen, tempur. Bagaimana indeks kerawanan dari daerah yang ada di wilayah-wilayah tersebut, itu beda-beda. Mungkin di Papua penanganannya berbeda dengan di wilayah lain. Kita punya metode sendiri untuk penyelesaian masalah,” sambung dia.

Menanggapi hal ini, Komnas HAM pun angkat bicara. Dalam siaran pers, 14 April 2024, Komnas HAM menghormati langkah pemerintah namun juga akan mengkaji kembali perubahan penyebutan nama tersebut dengan tetap dilandasi perlindungan HAM.

“Komnas HAM menghormati kewenangan pemerintah dalam merespons situasi di Papua, di antaranya perubahan penyebutan KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) menjadi OPM (Organisasi Papua Merdeka), sebagaimana pernyataan Panglima TNI,” ujar Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro, dikutip Senin (15/4/2024).

“Komnas HAM akan mengkaji rujukan peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam perubahan terminologi tersebut. Namun Komnas HAM kembali menekankan standar perlindungan HAM baik dalam situasi konflik maupun non konflik, bahwa semua pihak, baik aparatur sipil, aparat keamanan, maupun kelompok sipil bersenjata, harus menjamin keselamatan warga sipil, sambungnya.

Selain itu, Komnas HAM juga merespons situasi konflik dan kekerasan di Papua. Komnas HAM mendorong penegakan hukum dan pendekatan keamanan yang terukur di Papua. Lembaga ini menyatakan keprihatinan dan memberikan atensi terhadap setidaknya 12 peristiwa kekerasan terjadi di Papua yang menyasar ke anggota TNI/POLRI maupun warga sipil selama kurun waktu bulan Maret dan April 2024.

Tercatat tidak kurang dari 4 (empat) orang warga sipil dan 5 (lima) orang anggota TNI/POLRI mengalami luka; 8 (delapan) orang meninggal dunia – yang terdiri dari 5 (lima) orang anggota TNI/POLRI dan 3 (tiga) warga sipil, yaitu 1 dewasa dan 2 usia anak; serta 2 (dua) orang perempuan menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS).

Peristiwa yang terjadi pada Maret 2024 antara lain: kontak tembak antara aparat gabungan TNIPolri dengan Kelompok Sipil Bersenjata (KSB) di Kampung Mamba, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya (1/3); penembakan 2 (dua) prajurit TNI yang diduga dilakukan oleh KSB di Kulirik, Puncak Jaya (17/3);

Penembakan 1 (satu) anggota Satgas Kostrad Yonif Raider 323/BP yang diduga dilakukan KSB di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak (22/3); serta penembakan yang diduga dilakukan oleh KSB terhadap 2 (dua) anggota Polri saat berjaga di helipad di Kabupaten Paniai (20/3).

Sedangkan pada April 2024 tercatat 2 (dua) orang perempuan menjadi korban kekerasan seksual dan penganiayaan oleh sekelompok orang di Distrik Nabire, Kabupaten Nabire (5/4). Selain itu, penyerangan terhadap warga sipil juga terjadi, antara lain pembunuhan Kepala Kampung Modusit yang diduga dilakukan KSB di Distrik Serambakon, Kabupaten Pegunungan Bintang (8/4);

Penembakan 2 (dua) warga sipil yang diduga dilakukan KSB di kios jembatan Yessey Mersey, Kampung Kago, Distrik Ilaga (9/4). Selain itu, juga terjadi kontak tembak antara TNI-POLRI dan KSB di Sugapa, Intan Jaya, Papua Tengah (8/4).

Terkait dengan intensitas kekerasan yang terjadi, Komnas HAM menyatakan mengecam segala bentuk dan tindakan kekerasan yang kerap terjadi di Papua, khususnya kekerasan seksual terhadap 2 (dua) orang perempuan di Nabire, pembunuhan terhadap Komandan Rayon Militer (Danramil) 1703-04/Aradide di Kabupaten Paniai, Papua Tengah yang diduga dilakukan oleh TPNPB-OPM pada 10 April 2024;

Serta jatuhnya korban jiwa warga sipil anak yaitu: dalam kontak tembak antara TNI-Polri dengan KSB di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya pada 1 Maret 2024 dan 8 April 2024. Kasus-kasus tersebut memperlihatkan bahwa siapapun dapat menjadi korban akibat konflik dan kekerasan yang kerap terjadi di Papua.

“Komnas HAM mendesak pengusutan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Papua secara transparan oleh Aparat Penegak Hukum, serta penegakan hukum secara akuntabel terhadap pihak-pihak yang terlibat demi tegaknya supremasi hukum,” sebutnya.

Komnas HAM juga mendorong adanya evaluasi pada tataran operasi, komando dan pengendalian keamanan dalam penanganan setiap kekerasan bersenjata di Papua untuk memperbaiki kebijakan keamanan di Papua. Kemudian, mendorong pemerintah, termasuk TNI dan Polri, untuk senantiasa menggunakan pendekatan yang terukur dalam menghadapi konflik dan kekerasan di Papua. Hal ini penting untuk menjamin keselamatan dan perlindungan HAM warga sipil, maupun aparat TNI dan Polri yang bertugas di lapangan.

“Pelanggaran HAM dapat terjadi apabila Negara menggunakan kekuatan berlebih (excessive use of force) tanpa mempertimbangkan prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas; atau ketika Negara tidak dapat memastikan penegakan hukum yang adil bagi korban. Untuk itu, Komnas HAM mendorong agar pemerintah mengedepankan penegakan hukum terhadap setiap pelaku kekerasan di Papua dan serta perlindungan dan keadilan bagi para korban,” ujarnya. (UWR)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terkini

- Advertisment -