PAPUA, JAGAINDONESIA.COM – Sebuah perusahaan pemegang izin Hutan Tanaman Industri (HTI) diduga melakukan tindakan melawan hukum. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA) telah menerima laporan masyarakat adat terdampak bahwa PT Merauke Rayon Jaya (MRJ) telah menggusur lahan dan hutan adat dengan cara melanggar hukum adat, yakni penggusuran dan pembabatan hutan tanpa musyawarah dan restu izin sebagaimana hukum adat setempat.
Dalam siaran pers PUSAKA (18/4/2024), disebutkan bahwa perusahaan PT MRJ juga belum menyampaikan dokumen perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman dari negara dan persyaratan seperti kelayakan lingkungan, rencana kerja usaha, AMDAL dan sebagainya kepada masyarakat terdampak yakni masyarakat adat Wambon Kenemopte di Kampung Subur dan Aiwat, Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan.
Pasalnya, pejabat Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Selatan, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Selatan, dan Kepala Bidang Lingkungan Hidup DLHKP Provinsi Papua Selatan, juga mengonfirmasi tidak menerbitkan surat pemberian izin dan rekomendasi, dan persyaratan usaha lainya, tentang keberadaan dan rencana operasi perusahaan hutan tanaman industri PT MRJ.
Adapun persyaratan dan perizinan dimaksud berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan; Peraturan Pemerintah RI Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Kemudian, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.28 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian, Perluasan Areal Kerja dan Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekososistem atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi, dan perubahannya sebagaimana Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.19/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019; dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.62/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/ 2019 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.
“Perusahaan PT MRJ tidak menghormati HAM Masyarakat Adat Wambon Kenemopte, perusahaan diduga melanggar hukum yakni beroperasi membongkar dan menggusur hutan, dan memanfaatkan hasil hutan kayu, tidak sesuai ketentuan negara dan tanpa izin masyarakat adat,” jelas staf advokasi Pusaka, Tigor G Hutapea.
Menurutnya, saat ini masyarakat adat Wambon Kenemopte sedang menghadapi permasalahan penggusuran dan perusakan lahan dan hutan yang dilakukan perusahaan PT Merauke Rayon Jaya (MRJ) dan terjadi sejak awal April 2024. Penolakan sebelumnya telah berkali-kali disampaikan masyarakat sejak 2021, namun belum ada tanggapan dan langkah kongkret.
Penolakan itu juga disampaikan melalui surat pernyataan pencabutan izin kepada pemerintah Kabupaten Boven Digoel, Dinas Kehutanan dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua, DPMPTSP Provinsi Papua Selatan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2023.
Operasi bisnis perusahaan HTI pulp PT MRJ itu disebutkan menimbulkan kekhawatiran dan ancaman bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat adat, akibat hilangnya hutan alam dan diganti tanaman asli, hilangnya sumber mata pencaharian, pangan dan pendapatan ekonomi masyarakat, terbatasnya hak dan akses usaha masyarakat, rusaknya lingkungan hutan alam dan kawasan gambut, maupun perairan sungai dan rawa di wilayah adat. Hal itu disebut merupakan bentuk pelanggaran hak-hak dan pengabaian keberadaan masyarakat setempat.
Masyarakat adat Wambon Kenemopte pun bereaksi atas tindakan ilegal, perusakan hutan dan pembangunan kamp perusahaan di wilayah adat masyarakat, dengan memperingatkan pihak pekerja setempat untuk menghentikan aktivitas perusakan hutan dan pembangunan logpond perusahaan.
Masyarakat akan memberikan sanksi adat jika kegiatan perusahaan melanjutkan pengrusakan hutan adat. Terlebih dalam kerangka perekonomian inklusif dan pemajuan hak serta pemberdayaan hak OAP, negara wajib menghormati dan melindungi hak-hak sosial ekonomi, mata pencaharian, pengetahuan modal sosial dan sumber-sumber hidup masyarakat adat Papua yang sejalan dengan UUD 1945 dan UU Nomor 02 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, Bab X Perekonomian Pasal 38 – 42.
“Kami meminta pejabat pemerintah kabupaten Boven Digoel dan Provinsi Papua Selatan, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera mengambil tindakan penertiban, dengan menghentikan dan mengevaluasi keberadaan dan aktivitas perusahaan PT Merauke Rayon Jaya, atas dugaan pelanggaran hukum yang terjadi dan telah menimbulkan keresahan dalam masyarakat”, tegas Tigor G Hutapea. (UWR)