JAGAINDONESIA.COM – Belum selesai penyelidikan terhadap insiden polisi tembak polisi di Solok Selatan (22/11/2024) oleh Kabag Ops Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar terhadap Kasat Reskrim Polres Solok Selatan, AKP Ryanto Ulil Anshar, yang diduga kuat karena persoalan tambang ilegal, kini publik dikejutkan lagi oleh peristiwa penembakan polisi kepada warga sipil di Semarang (24/11/2024).
Kali ini pelajar berinisial GRO (16) dan dua teman satu sekolahnya masing-masing berinisial SA (16) dan AD (17), ditembak oleh Aipda RZ, oknum polisi anggota Satnarkoba Polrestabes Semarang. GRO meninggal, sementara kedua temannya masih bisa tertolong meskipun mengalami luka.
Atas kejadian ini, Senator Filep Wamafma, Ketua Komite III DPD RI pun angkat bicara. Filep menyayangkan peristiwa tersebut terjadi. Apalagi, pelaku peristiwa tersebut adalah aparat negara.
“Tentu perlu dijelaskan dulu kapasitas saya membicarakan hal ini. Berdasarkan Pasal 39 ayat (3) Tata Tertib DPD RI jo. Pasal 84, salah satu tugas Komite III DPD RI adalah membidangi perlindungan anak. Peristiwa penembakan terhadap anak merupakan hal yang tidak dibenarkan. Bahkan kalau kita bicara pidana pun, bagi anak perlakuannya benar-benar khusus. Penjara pun menjadi paling akhir. Yang diutamakan untuk anak adalah pidana peringatan. Maka saya kaget ketika mengetahui bahwa oknum polisi bisa langsung menembak mati anak”, kata Filep saat dijumpai awak media (27/11/2024).
“Kalaupun penembakan itu wujud diskresi, diskresi itu pun harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, saya mengecam tindakan represif yang menurut saya melampaui batas ini, apalagi beberapa informasi menyebutkan ada kejanggalan dalam kasus ini,” tegas Filep.
Lebih lanjut, Doktor Hukum lulusan Universitas Hasanuddin ini menegaskan pentingnya reformasi di institusi kepolisian. Reformasi yang dimaksud dilakukan secara menyeluruh baik struktural, kultural dan instrumental. Menurut Filep, Kepolisian sudah seharusnya responsif terhadap kebutuhan masyarakat, bukan justru menjadi penyebab masalah baru.
“Sebenarnya kedua peristiwa penembakan belakangan ini, mengingatkan kembali pesan saya pada periode pertama sebagai anggota DPD RI. Saya sudah meminta agar dilakukan reformasi Polisi atas salah tangkap pada kasus HAM di Papua,” ujarnya.
“Sejarah menunjukkan bahwa dikeluarkannya polisi dari ranah TNI agar Kepolisian menjadi lembaga yang profesional dan mandiri. Melihat peristiwa akhir-akhir ini, rasanya kemandirian dan profesionalitasnya justru dipertanyakan. Polisi tembak polisi di Solok Selatan diduga gara-gara tambang, apakah polisi terlihat mandiri dan independen? Polisi tembak anak di bawah umur, apakah ini benar-benar profesional? Oleh sebab itu saya mendorong untuk diusut secara tuntas sebagai bagian dari reformasi Kepolisian,” tegas Filep lagi.
Filep juga mengkhawatirkan bahwa kasus penembakan anak di bawah umur masuk dalam kategori extra judicial killing atau pembunuhan di luar pengadilan..
“Persoalan penembakan terhadap anak di bawah umur, saya khawatir jangan sampai ini masuk dalam kategori extra judicial killing. Dalam perspektif HAM, extra judicial killing merupakan pembunuhan oleh aparat negara di luar putusan pengadilan. Ketentuan HAM dalam Deklarasi Universal HAM yang diikuti dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan ICCPR (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, dengan tegas melarang hal ini,” urainya.
“Dalam Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2005 disebutkan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum, dan bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”. Itu karena hak hidup sifatnya non derogable. Maka dalam konteks ini, saya juga mendorong Komnas HAM untuk bergerak. Ada apa di balik ini semua,” tanya Filep.
Menutup wawancara, Senator Papua Barat menyampaikan kembali kritiknya agar kepolisian menanggapi serius upaya reformasi pada tubuh institusi tersebut.
“Saya rasa kita semua mencintai Kepolisian, dan karena itu kita ingin supaya lembaga ini berbenah. Di sisi lain, kemanusiaan terutama anak-anak yang menjadi penerus bangsa, harus dilindungi. sikap profesionalitas polisi dan rasa kemanusiaan pada anak-anak, harusnya menjadi pilar dalam penegakan hukum,” demikian pungkas Filep.
Seperti diketahui, pasca penembakan terhadap anak oleh Aipda RZ di Semarang, Mabes Polri menerjunkan Tim dari Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) dan Inspektorat Umum (Itwasum). Peristiwa ini pun menyita perhatian masyarakat luas dan kini publik menanti transparansi dari pengusutan kasus ini.