JAGAINDONESIA.COM – Senator Filep Wamafma mengapresiasi kebijakan pemerintah yang memprioritaskan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 untuk memajukan sektor pendidikan. Diantaranya, alokasi anggaran kesejahteraan guru akan meningkat menjadi Rp81,6 triliun, naik Rp16,7 triliun dibanding tahun sebelumnya.
Selaku Ketua Komite III DPD RI yang membawahi bidang pendidikan, Filep menyatakan mendukung langkah Presiden Prabowo Subianto tersebut utamanya untuk meningkatkan kesejahteraan guru sebagai pilar penentu kualitas pendidikan di Indonesia.
“Kami apresiasi dan mendukung kebijakan ini sepenuhnya. Guru-guru di Indonesia sangat perlu diperhatikan melalui keberpihakan kebijakan dari pemerintah. Prioritas APBN untuk pendidikan ini sangat penting, namun lebih penting lagi kita semua harus mengawal implementasi kebijakan tersebut agar tepat sasaran di lapangan,” ujar Filep.
Seperti diketahui Presiden Prabowo Subianto menyampaikan serangkaian program yang dirancang demi meningkatkan kesejahteraan guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) dan non-ASN pada 2025. Kebijakan ini diumumkan dalam pidato Hari Guru Nasional 2024 di Velodrome Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (28/11/2024).
Presiden menjelaskan Guru ASN akan menerima tambahan kesejahteraan sebesar satu kali gaji pokok. Selain itu, tunjangan profesi bagi guru non-ASN dinaikkan menjadi Rp2 juta per bulan. Kemudian, presiden mengungkapkan rencana pemberian dana tunai bagi guru non-ASN yang belum memiliki sertifikasi yang rencananya akan disalurkan melalui transfer perbankan.
Senator Papua Barat itu menyebut, serangkaian program ini akan membuat guru merasa diperhatikan dan menjadi motivasi untuk meningkatkan kinerja ke depannya. Selain itu, Filep juga mengapresiasi program pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu SDM pendidik, seperti menambah kuota sertifikasi dan pelatihan sebagai upaya menciptakan guru berkualitas.
Pemerintah pada 2025 menargetkan sebanyak 1.932.666 guru akan bersertifikat pendidik. Angka ini mengalami peningkatan 650 guru dibanding 2024. Lalu, sebanyak 806.486 guru ASN dan non-ASN dengan kualifikasi pendidikan D4 atau S1 ditargetkan akan mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG).
“Kita juga mencatat rencana pemerintah menyediakan bantuan pendidikan bagi 249.623 guru yang belum memiliki gelar D4 atau S1. Bantuan ini penting agar guru-guru kita dapat meningkatkan kualifikasi pendidikan mereka,” katanya.
“Karena jika kita melihat data pendidikan, semakin tinggi jenjang sekolah, semakin sedikit jumlah guru. Adapun persentase guru yang memenuhi kualifikasi akademik minimal S1/D4 sebesar 97,33 persen, mengalami peningkatan sebesar 0,38 persen poin dibandingkan dengan tahun ajaran 2022/2023, sekitar 96,95 persen. Jika dilihat dari masing-masing jenjang, persentase guru yang memenuhi kualifikasi akademik minimal S1/D4 pada jenjang pendidikan SD dan SMP meningkat dari tahun sebelumnya. Hal sebaliknya terjadi pada jenjang SMA dan SMK, dimana guru yang memenuhi kualifikasi akademik minimal S1/D4 mengalami penurunan,” jelas pace Jas Merah itu.
Filep yang juga seorang akademisi itu menyampaikan, hal lain yang harus diperhatikan yakni perlindungan terhadap guru. Menurutnya, pemerintah perlu melakukan amandemen terhadap UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sebagai payung hukum bagi guru di Indonesia.
“Hal lain perlu saya tekankan, masalah jumlah anak tidak sekolah yang masih menjadi pekerjaan rumah kita. Persentase anak tidak sekolah semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kelompok umur. Kita lihat datanya, anak usia 7-12 terdapat 0,67 persen tidak sekolah, usia 13-15 terdapat 6,37 persen, dan usia 18-18 terdapat 19,20 persen,” jelasnya.
“Lalu Angka Putus Sekolah, pada tahun 2024, secara umum terdapat satu dari 1.000 penduduk yang putus sekolah di jenjang SD sederajat atau sekitar 0,11 persen. Dari 1.000 penduduk yang mengenyam pendidikan SMP sederajat, delapan diantaranya putus sekolah sebesar 0,82 persen. Sedangkan, angka putus sekolah pada jenjang SMA/SMK sederajat terdapat 10 dari 1.000 penduduk yang mengenyam pendidikan SMA/SMK sederajat putus sekolah atau 1,02 persen. Hal ini menunjukkan semakin tinggi jenjang pendidikan, angka putus sekolah juga semakin tinggi. Ini masalah serius sekaligus tantangan bagi bangsa kita, terutama para pemimpin agar melahirkan kebijakan-kebijakan yang semakin solutif,” pungkas Filep.