JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Menanggapi ucapan selamat merayakan Hari Raya Naw-Ruz dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas kepada umat Baha’i di Indonesia, Amnesty International Indonesia Nurina Savitri mengapresiasi langkah tersebut.
“Kami sangat mengapresiasi ucapan Menteri Agama kepada umat Baha’i. Ini adalah sebuah langkah awal dan penting untuk memberi pengakuan kepada seluruh umat beragama di Indonesia. Ini merepresentasikan keberagaman yang ada di Indonesia.” ungkapnya sebagaimana ditulis dalam laman amnesty.id.
“Kami berharap ini tidak hanya berhenti di ucapan selamat saja, tapi juga diikuti pengambilan langkah-langkah efektif untuk memastikan bahwa anggota agama minoritas dilindungi dan dapat mempraktikkan keyakinan mereka secara bebas dari rasa takut, intimidasi, dan serangan. Hal ini penting untuk menjamin kebebasan berpikir, berkeyakinan, beragama, dan berkepercayaan kepada seluruh pemeluk agama di Indonesia tanpa adanya diskriminasi.” tambahnya lagi.
“Beberapa hal yang bisa segera dilakukan pemerintah untuk melindungi semua umat antara lain mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah dan juga SKB Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri 2008 tentang Ahmadiyah. Kedua SKB ini sering dijadikan pembenaran untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap pemeluk agama dan kepercayaan minoritas.” tutupnya.
Latar belakang
Pada tanggal 26 Maret 2021, akun YouTube Baha’i Indonesia mengunggah video ucapan selamat merayakan Hari Raya Naw-Ruz dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas kepada umat Baha’i di Indonesia.
Hak seluruh individu untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing telah dijamin dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan dijelaskan lebih lanjut dalam Komentar Umum No. 22 terkait Pasal 18 ICCPR. Pasal 18 ICCPR menyebutkan:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.”
Selain itu, Pasal 26 ICCPR juga menyatakan bahwa semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi atas dasar apapun, termasuk agama.
Pasal 27 ICCPR juga menjamin bahwa orang-orang yang termasuk minoritas tersebut tidak boleh ditolak haknya, dalam komunitas dengan anggota lain dari kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menganut dan mempraktikkan agama mereka sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.
Kebebasan untuk mewujudkan atau memperlihatkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat tunduk pada batasan-batasan seperti yang ditentukan oleh hukum dan diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan, atau moral publik atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain. Akan tetapi perlu diingat bahwa peraturan, kebijakan dan perlakuanpun tidak boleh bersifat disrkiminatif hanya karena keyakinan atau cara mereka beribadah berbeda dengan yang lain.
Dalam hukum nasional, hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan dijamin dalam UUD 1945, khususnya Pasal 29 (2) tentang kebebasan beragama dan beribadah dan pasal 28E (2) tentang kebebasan berkeyakinan, menyatakan pikiran dan sikap mereka sesuai dengan hati nuraninya. (rls/Amnesty)