JAGAINDONESIA.COM – Menanggapi pelaporan terhadap Direktur LBH Bali, Ni Kadek Vany Primaliraning, dan empat mahasiswa Papua yang bernama Yefri Kossai, Yoberthinus Gobay, Jeno Sadrack Dogomo, dan Natalis Bukega kepada Kepolisian Daerah Bali dengan tuduhan tindak pidana makar dan dugaan pemufakatan makar, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena memberikan komentar. Menurutnya hal tersebut berdampak buruk terhadap perlindungan HAM di Indonesia.
“Pelaporan terhadap Direktur LBH Bali dan empat mahasiswa Papua tidak berdasar. Ini juga dapat berdampak buruk bagi perlindungan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat secara damai.” ungkapnya dalam release pada 4 Agustus 2021.
“Ni Kadek Vany Primalaning hanya menjalankan tugasnya untuk mendampingi dan memberi ruang kepada mahasiswa yang menyampaikan aspirasi politik mereka. Sementara Yefri Kossai, Yoberthinus Gobay, Jeno Sadrack Dogomo, dan Natalis Bukega hanya menyampaikan aspirasi politik mereka dengan damai. Tindakan mereka sama sekali tidak dapat disebut sebagai makar atau pemufakatan makar.” jelasnya lagi.
“Kami mendesak Polda Bali untuk melindungi kebebasan berekspresi dengan tidak melanjutkan dan tidak memproses laporan yang tidak berdasar ini. Kami juga kembali mendesak pemerintah untuk mencabut atau secara substantif mengamandemen Pasal 106 dan 110 KUHP tentang makar, yang sudah seringkali disalahgunakan untuk memidana kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul, dan berserikat melampaui batasan-batasan yang diperbolehkan dalam hukum dan standar HAM internasional,” urainya.
Latar belakang
Berdasarkan informasi yang diterima oleh Amnesty International, pelaporan terhadap Ni Kadek Vany Primaliraning, Yefri Kossai, Yoberthinus Gobay, Jeno Sadrack Dogomo, dan Natalis Bukega dilatarbelakangi adanya rencana aksi unjuk rasa yang akan dilakukan oleh Front Mahasiswa Peduli Papua (Formalipa) pada tanggal 31 Mei 2021. Aksi tersebut dihalang-halangi oleh sebuah organisasi masyarakat (ormas) dan juga aparat kepolisian. Akibatnya, Formalipa hanya bisa melakukan aksi orasi di Kantor LBH Bali.
Dalam pandangan Amnesty, Otoritas Indonesia kerap menerapkan pasal “makar”, dengan pengertian yang terlalu umum dan kabur sehingga tidak lagi sesuai tujuan awal dari pasal tersebut. Amnesty menilai penerapan ketentuan makar yang terlalu luas akan berpotensi membatasi kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul, dan berserikat sesuai dengan ketentuan yang diizinkan dalam hukum hak asasi manusia internasional, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 2005.
Amnesty International mengingatkan bahwa hak atas kebebasan berekspresi serta berkumpul dijamin oleh Pasal 19 dan 21 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Merujuk Kovenan tersebut, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen HAM internasional.
Meskipun kebebasan berekspresi dan berkumpul dapat dibatasi, pihak berwenang harus memastikan bahwa segala pembatasan tersebut harus sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional, yaitu sesuai dengan hukum, mengejar tujuan yang sah, diperlukan dan proporsional untuk mencapai fungsi perlindungan mereka.
Dalam hukum nasional, hak atas kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat juga dijamin di dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28E Ayat (3), dan juga Pasal 23 Ayat (2) dan Pasal 24 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999. Perlu diingat bahwa Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menjamin bahwa setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
Amnesty juga mengingatkan bahwa Ni Kadek Vany Primaliraning selaku Pemberi bantuan hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan bantuan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai sebagaimana diatur pada Pasal 11 UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Terkait kejadian itu, Amnesty International tidak mengambil posisi apa pun tentang status politik provinsi mana pun di Indonesia, termasuk seruan kemerdekaan mereka. Namun, menurut amnesty, kebebasan berekspresi termasuk hak untuk secara damai mengadvokasi kemerdekaan atau solusi politik lainnya, selama tidak melontarkan hasutan dengan tujuan mendiskriminasi, memusuhi atau menyulut kekerasan. (rls/amnesty)