JAGAINDONESIA.COM – Beberapa hari lalu, pada hari Sabtu, 27 Februari 2021 tiga tokoh masyarakat adat Dayak Modang Long Wai – Daud Luwing, Benediktus Beng Lui, dan Elisason – diamankan oleh anggota Polres Kutai Timur. Berdasarkan keterangan Jaringan Anti Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, mereka ditangkap usai melakukan pendataan aset –aset di wilayah adat Dayak Modang Long Wai di sekitar Desa Long Bentuq, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Ketiga tokoh adat tersebut kemudian dibawa ke kantor Polres Kutai Timur di Sangatta dan diperiksa sampai akhirnya dibebaskan pada Minggu, 28 Februari malam.
Menanggapi kejadian tersebut, Amnesty International mendesak aparat berwenang untuk berhenti melakukan kriminalisasi dalam bentuk apapun terhadap tokoh masyarakat adat hanya karena upaya mereka menyuarakan dan melindungi hak-hak asasi mereka. Sejak awal Januari 2020 hingga kini, Amnesty mencatat ada setidaknya 61 tokoh masyarakat adat yang menjadi korban penangkapan dan penahanan tanpa proses hukum yang benar.
“Penangkapan dan penahanan Daud Luwing, Benediktus Beng Lui, dan Elisason merupakan yang terbaru dari serangkaian serangan terhadap pembela HAM dan pemimpin keadilan sosial, terutama pembela hak-hak masyarakat adat,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid hari ini.
Daud Luwing, Benediktus Beng Lui, dan Elisason sebelumnya dilaporkan terkait aksi damai penutupan akses terhadap pengangkutan produk sawit milik PT Subur Abadi Wana Agung. Perusahaan tersebut adalah salah satu anak perusahaan dari PT Tri Putra Group yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Modang Long Wai di Desa Long Bentuq sejak 30 Januari 2021. Mereka dituduh melanggar Pasal 63 ayat (1) UU 38 tahun 2004 tentang Jalan.
Pada hari Senin, 1 Maret, tiga warga Desa Long Bentuq dipanggil Polres Kutai Timur untuk diperiksa terkait kasus yang sama yaitu Pastor Herri Kiswanto Sitohang, Bit Dea Baw, dan Gabril Luhim.
“Negara seharusnya melindungi dan menghormati hak setiap warga untuk menyampaikan aspirasi mereka. Penangkapan pegiat HAM seperti Daud, Beng Lui dan Elisason karena upaya mereka melindungi tanah adat, kehidupan, lingkungan, dan hak-hak adat mereka adalah serangan serius terhadap pembela keadilan sosial dan bentuk dari pelanggaran HAM. Jeratan hukum berupa melanggar UU tentang Jalan jelas terkesan mengada-ada.”
“Kami mendesak Pemerintah untuk mengedepankan dialog dan partisipasi yang bermakna dengan masyarakat adat dan secara aktif mengambil langkah-langkah nyata untuk melindungi masyarakat adat dari segala bentuk perampasan hak-hak mereka.”
Dari bulan Januari 2020 hingga awal tahun 2021, Amnesty mencatat ada setidaknya 61 masyarakat adat yang menjadi korban penangkapan oleh aparat berwenang.
Hak-hak masyarakat adat sudah diakui dalam hukum HAM internasional maupun hukum nasional. Hak-hak masyarakat adat, terutama untuk memiliki, mengembangkan, mengontrol dan menggunakan tanah adatnya diatur dalam Pasal 26 ayat (2) Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat dan Pasal 27 Kovenan Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Ketentuan ini juga diperjelas oleh Komentar Umum Komite Hak Asasi Manusia No. 23 Tahun 1994 yang menyatakan bahwa perlindungan budaya di bawah Pasal 27 ICCPR juga mencakup perlindungan tanah masyarakat adat dan penguasaan sumber daya. (AI)