JAGAINDONESIA.COM – Budaya “melek-an” adalah kebiasaan umum yang dapat dijumpai hampir di seluruh tempat di Indonesia, terutama wilayah desa. Hal ini karena di desa, warganya masih mempunyai kepedulian sosial yang relatif tinggi, serta aktifitas gotong royong masih sering dilakukan.
Aktivitas “melek-an” bisa dilihat mulai dari kegiatan berjaga di pos ronda, jagong bayi (kelahiran bayi), atau saat ada warga yang meninggal dunia yang waktunya tentatif (mulai dari 7 hari hingga 40 hari). Tak hanya itu, acara pernikahan,pindahan rumah, kenduri atau hajatan, dan sampai hanya sekedar cangkruk (duduk santai) untuk menikmati minum kopi atau teh dengan teman, tetangga hingga saudara. Tentu dengan bahan percakapan yang ada di sekitar lingkungan hingga isu nasional yang lagi hangat.
Dilansir dari kbbi.web.id, melek adalah tidak tidur, jaga, celik mata, dapat melihat, insaf, mengerti. Sedang melek- melekan adalah berjaga (tidak tidur) semalam suntuk.
Seiring perkembangan zaman, budaya melek-an juga mengalami transformasi secara bentuk dan isi. Bagi mahasiswa yang aktif dan progresif, melek-an dapat diisi dengan diskusi, rapat organisasi, bedah buku, hingga dialektika wacana kebangsaan bahkan membahas kebijakan publik.
Bagi warga kota, melek-an bisa saja dilakukan di cafe-cafe, taman kota sambil kongkow, bahkan hanya untuk menikmati keindahan malam atau menikmati live music yang dihadirkan di cafe atau tempat hiburan.
Di masa pandemi seperti saat ini, berlaku pula budaya “melek-an” untuk menjaga kampung dari keluar masuknya masyarakat yang sedang melakukan aktifitas. Apalagi pernah berlaku kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Kata “melek” memang memberi penekanan tersendiri, apalagi di gabung dengan kata lain. Semisal kata ” melek informasi”, ” melek politik”, ” melek huruf “, ” melek aksara”, dan “melek literasi”. Yang semua kata itu banyak digunakan oleh jurnalis, pendidik, bahkan para pengamat politik atau analis.
Disamping itu kata “melek” merupakan kata serapan dari bahasa jawa, yang bisa berarti melihat atau terpelajar jika diartikan ke dalam bahasa indonesia. Dilansir juga dari id.m.wikipedia.org, jawa juga mempunyai dasanama yang merupakan persamaan istilah suatu yang memiliki makna “sama” atau “hampir serupa.” Dasanama lebih dipahami sebagai sinonim dalam lingkup bahasa jawa. Istilah atau kata yang ber-dasanama dalam bahasa jawa sangat beragam, mulai dari lingkup nama tokoh pewayangan, hewan, penanggalan, tempat, hingga istilah umum yang berupa kata kerja dalam percakapan sehari- hari.
Yang perlu diketahui adalah “melek-an” merupakan sumbangan budaya asli yang lahir dari proses sejarah serta dialektika kehidupan dimana masyarakat itu tinggal, baik di desa maupun di kota. Dari kata ” melek” yang berarti jaga dan tidak tidur, mengisyaratkan kesadaran serta kewaspadaan bagi pelaku ” melek-an” untuk dapat melihat segala sesuatu secara jelas, terang dan jernih.
Maka dari itu ” melek-an” secara intrepretasi dapat dijadikan alat untuk memfilter banjirnya informasi di era saat ini. Apalagi, di era post truth sekarang, hoax sudah menjamur di berbagai media. Untuk memilah dan memilih bahan bacaan itulah diperlukan sikap “melek-an sehingga masyarakat tidak terlena dan ter-nina bobokan dalam ayunan keadaan, tidak dicuri hak-haknya dalam mendapat penghidupan yang layak. Terutama juga hak untuk berserikat, berkumpul dan menyampaikan pikiran berupa lisan maupun tulisan yang di tetapkan dan dijamin oleh UUD 1945 pasal 28.
(Opini ini ditulis oleh W.E.Y Sastra Aksara, pegiat sosial, anggota komunitas kabut malam)