JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM menegaskan akan terus melakukan pengawalan terhadap seluruh rangkaian proses persidangan kasus pembunuhan dan mutilasi 4 warga di Mimika.
Sikap ini itu merupakan bentuk perjuangan koalisi agar keluarga korban dan masyarakat Papua pada umumnya mendapatkan keadilan atas kasus tersebut. Koalisi pun mendesak seluruh terdakwa yang terlibat dalam kasus pembunuhan disertai mutilasi itu dihukum berat.
Meskipun begitu, Koalisi mengapresiasi vonis pidana seumur hidup dan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) Majelis Hakim Peradilan Militer Tinggi III Surabaya yang memeriksa dan mengadili perkara nomor 37-K/PMT.III/AD/XII/2022 dengan terdakwa Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi alias Mayor HFD.
Terdakwa yang juga menjabat sebagai komandan Detasemen Markas (Denma) Brigade Infanteri 20/Ima Jaya Keramo Kostrad dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan pembunuhan berencana secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 340 Jo.55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.
Melansir dari KontraS, Rabu 25 Januari 2023, dalam persidangan itu, pada pokoknya, Hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya yang dipimpin Hakim Ketua Kolonel Chk Sultan, didampingi Hakim Anggota I Kolonel Chk Agus Husin, dan Hakim Anggota II Kolonel Chk Prastiti Siswayani memutuskan beberapa poin sebagaimana berikut:
Pertama, unsur tindak pidana penadahan sebagaimana pada dakwaan Primair dalam Pasal 480 ke-2 jo 55 ayat (1) KUHP tidak terbukti:
Kedua, unsur tindak pidana Pencurian dengan kekerasan sebagaimana pada dakwaan subsidair diatur dalam Pasal 365 ayat (4) jo 55 ayat (1) KUHP tidak terbukti;
Ketiga, terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP Jo.55 Ayat 1 Ke-1 (Dakwaan Lebih Subsider);
Keempat, Pasal 121 Ayat 1 KUHPM terbukti/Dakwaan Alternatif;
Kelima, hal-hal yg memberatkan antara lain:
- Perbuatan terdakwa meresahkan dan memberikan trauma kepada korban dan masyarakat;
- Merusak hubungan antara TNI dan masyarakat Papua;
- Merusak citra TNI di masyarakat; dan
- Perbuatan terdakwa sadis, tidak berperikemanusiaan dan melanggar HAM.
“Walaupun belum berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), putusan ini bisa menjadi angin segar bagi perjuangan keluarga korban dan masyarakat Papua pada umumnya. Sebab, hukuman tergolong berat dan hakim berani untuk memutus perkara dengan tidak terikat pada tuntutan Oditur Militer. Hal ini tentu saja akan menjadi preseden yang cukup baik, mengingat spiral kekerasan terus berlangsung, utamanya bagi warga sipil Papua dengan melibatkan aparat TNI/Polri,” sebut Koalisi HAM.
Selain itu, Koalisi menilai putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim pada sidang ini menandakan Oditurat tidak memperhatikan konteks holistik permasalahan di Papua dalam mencari kebenaran materil selama proses persidangan berlangsung.
“Selain tidak mewakili kepentingan korban, sejak awal struktur dakwaan yang disusun sangatlah problematis dengan menempatkan Pasal Penadahan secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 480 ke-2 jo 55 ayat (1) KUHP sebagai dakwaan Primair. Adapun selama proses persidangan, Oditur juga terlihat setengah hati, terbukti pada pembacaan tuntutan yang hanya 4 tahun,” tambahnya.
Lebih lanjut, Koalisi memandang, putusan terhadap Mayor Dakhi tersebut sudah semestinya dapat menjadi acuan terhadap delapan terdakwa lainnya yang masih akan menjalani persidangan yang terdiri dari 4 pelaku militer dan 4 pelaku sipil.
Adapun Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS),
Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, LBH Kaki Abu, Elsham Papua, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, TAPOL.
Kemudian Amnesty International Indonesia, Human Rights Monitor, SOS untuk Tanah Papua bersama Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) dengan perwakilan masing-masing yakni Narik Yimin Tabuni (Perwakilan Keluarga Korban), Gustaf Kawer (PAHAM Papua), Latifah Anum Siregar (ALDP), Rivanlee Anandar (KontraS), Emanuel Gobay (LBH Papua), Matheus Adadikam (Elsham Papua).
Selanjutnya, Leonard Ijie (LBH Kaki Abu), Franky Samperante (Yayasan Pusaka Bentala Rakyat), A.S. Adhiati (TAPOL), Usman Hamid (Amnesty International Indonesia/AII), Norman Voss (Human Rights Monitor), Wirya Supriyadi (SOS untuk Tanah Papua), Tineke Rumkabu (Bersatu Untuk Kebenaran di Tanah Papua) dan Rosa Moiwen (Kewita Papua). (UWR)