JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Sejumlah perwakilan masyarakat adat Papua dari wilayah barat hingga timur mendatangi kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Rabu (20/9/2023) pagi. Kedatangan mereka bermaksud untuk meminta Menteri LHK mengakui dan mengukuhkan hutan adat dalam rangka pemulihan dan pengembalian hak masyarakat adat Papua yang dialihkan secara paksa dan diambil tanpa persetujuan masyarakat adat setempat.
Perwakilan masyarakat adat itu yakni Perempuan Adat Namblong asal Lembah Grime Nawa, Jayapura bersama perwakilan dan pemimpin masyarakat adat, berasal dari Suku Afsya, Sorong Selatan, Suku Moi Kelim, Kabupaten Sorong, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, dan Distrik Jair, dan Suku Awyu, Boven Digeol, dan pemimpin organisasi Pemuda Adat Sorong bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, bertemu dan berdialog dengan Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) di ruang pertemuan PSKL KLHK, Manggala Wanabakti, Jakarta.
“Pengakuan hutan adat terjadi hanya pada Kongres AMAN saja, setelah itu tidak ada. Hak kami tidak dihormati dan tidak dilindungi, hutan adat dicuri dan digusur. Kami mengalami kesulitan air bersih, kesulitan pangan dan terjadi konflik antara masyarakat pro dan kontra perusahaan.”, ujar Regina Bay, Perempuan Adat Namblong dalam keterangannya, dikutip Jumat (22/9/2023).
Masyarakat mengingatkan bahwa pada tahun 2022 lalu, KLHK menetapkan tujuh hutan adat di Papua, terdiri dari enam Surat Keputusan Hutan Adat di Kabupaten Jayapura, atas nama Marga Syuglue Woi Yonsu seluas 14.602,96 hektar, Yano Akura seluas 2.177,18 hektar, Yano Meyu seluas 411,15 hektar, Yosu Desoyo seluas 3.392,97 hektar, Yano Wai seluas 2.593,74 hektar, dan Takwobleng seluas 404,9 hektar, lainnya Marga Ogoney di Kabupaten Teluk Bintuni seluas 16.299 hektar.
Menurut mereka, SK Hutan Adat di Papua tersebut merupakan yang pertama kali terealisasi semenjak adanya putusan Mahkamah Konstitusi (2012) bahwa hutan adat bukan hutan negara.
Kami menyambut baik komitmen pemerintah nasional dan daerah untuk melakukan evaluasi perizinan usaha pemanfaatan sumber daya alam. Menteri Lingkungan Hidup telah menerbitkan SK.01/MENLHK/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan dan mencabut sekitar 55 izin usaha perkebunan, pengusahaan hasil hutan dan hutan tanaman industri di Papua. Namun upaya penertiban perizinan belum diikuti dengan pemulihan dan pengembalian hak masyarakat adat Papua yang dialihkan secara paksa dan diambil tanpa persetujuan bebas masyarakat adat”, kata Irene Thesia, Perempuan Adat Tehit dari Sorong Selatan.
Melansir siaran pers Pusaka (21/9/2023), diperkirakan total kawasan hutan yang telah dialihkan kepada 59 perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) seluas 2.061.538 hektar. Hutan yang hilang dan telah dibuka untuk untuk bisnis perkebunan dan HTI seluas 120.255 hektar, maka kawasan hutan pada areal konsesi yang masih tersisa seluas 1.948.283 hektar. Kawasan hutan dimaksud berada dalam wilayah adat dan masih dalam penguasaan masyarakat adat.
“Kami meminta tanah dan hutan adat bekas konsesi perusahaan, yang dikuasai perusahaan tanpa persetujuan kesepakatan dengan masyarakat untuk dikembalikan kepada masyarakat. Kami akan kelola sendiri hutan adat,” ujar Yulian Kareth.
Pada kesempatan dialog ini, perwakilan dan pemimpin marga dan suku menyerahkan surat permohonan penetapan hutan adat dan dilengkapi dokumen persyaratan, yakni sejarah masyarakat adat, pengetahuan penguasaan dan kepemilikan tanah, sejarah silsilah masyarakat adat, gambaran wilayah adat yang diklaim dan peta adat yang memuat batas tanah adat, peta wilayah adat dan/atau hutan adat, pengaturan dan kelembagaan adat, berita acara kesepakatan batas tanah adat, dan dokumen Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat.
Disebutkan, terdapat 10 usulan hutan adat yang disampaikan, yakni (1) Sub Suku Afsya di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, (2) Marga Kinggo Kambenap, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Jair, seluas 5.100 hektar, (3) Marga Tenggare, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Jair, seluas 3.000 hektar, (4) Marga Aute, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 15.343 ha.
(5) Marga Kanduga, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 14.105 ha, (6) Marga Ekoki di Kampung Aiwat, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 61.304 ha, (7) Marga Ekoki di Kampung Subur, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 41.222 ha, (8) Marga Kemi, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 48.901 ha, (9) Marga Eninggugop, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 30.228 ha, (10) Marga Wauk, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 20.149 ha.
“Bapak kami mohon untuk disegerakan penetapan hutan adat di wilayah adat Suku Afsya. Wilayah adat kami sempit karenanya kami menolak perusahaan yang mendapat izin kehutanan (KLHK, red)”, kata Johanis Meres, tokoh masyarakat adat Afsya, kepada Direktur PTKHA yang menerima surat dan dokumen usulan hutan adat.
Sementara itu, Direktur PKTHA menjelaskan bahwa saat ini pemerintah sedang memproses 50 usulan hutan adat dan menjadi prioritas untuk ditetapkan pada 2023, diantaranya ada delapan lokasi hutan adat berada di Papua. (UWR)