JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Senator Papua Barat Filep Wamafma berharap aspirasi pembangunan smelter Freeport di Papua menjadi perhatian utama pemerintah. Menurutnya, adanya smelter ini akan memberikan efek berganda (muliplier effect) bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan yang layak dirasakan oleh masyarakat Papua.
“Freeport ini kan sudah puluhan tahun di Papua. Masyarakat ingin bisa dapatkan dampak kehadirannya secara langsung. Bayangkan saja jika smelter dibangun di Papua, pasti ada banyak orang Papua yang dipekerjakan, penghasilan bertambah, pendapatan daerah juga demikian, indeks kemiskinan menurun, efeknya akan sangat terasa,” kata Filep, Senin (12/9/2022).
Berkaitan dengan hal itu, Filep juga mencermati pernyataan Presiden Jokowi dalam kunjungan ke Freeport saat peluncuran Teknologi 5G Mining pada 1 September 2022 lalu. Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi menegaskan bahwa sektor pertambangan Indonesia harus mampu bersaing melalui implementasi teknologi di era digital saat ini.
Selain itu, dalam acara Sarasehan 100 Ekonom yang diselenggarakan INDEF dan CNBC (7/9), Jokowi menyampaikan bahwa apabila smelter Freeport yang dibangun di Gresik sudah beroperasi di tahun 2024, maka nilai tambah tembaga yang selama 50 tahun diekspor dalam mentahan itu akan mencapai US$ 30 miliar atau Rp 448 triliun (dalam kurs Rp 14.935 per dollar AS).
“Apa yang disampaikan Presiden, membuat saya berpikir, seandainya smelter dibangun di Papua juga akan berdampak positif bagi kesejahteraan orang Papua, kesejahteraan itu juga kan yang selama ini menjadi tujuan percepatan pembangunan di Papua,” katanya.
“Harapan orang Papua justru disitu. Hal ini menjadi lucu, saat hasil tambang dari bumi Papua dibawa ke daerah lain untuk dikelola, lalu banyak keuntungan mengalir bagi daerah lain. Ya, semoga Presiden tidak menutup mata terkait harapan ini,” sambung Filep.
Sejak dulu, senator Papua Barat ini memang sudah mendorong agar smelter Freeport dibangun di Papua. Layaknya megaproyek smelter PT Freeport Indonesia di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik yang saat ini terus berjalan.
Hingga akhir April 2022, progres pembangunan disebut sudah 30 persen. Selain itu, pembangunan smelter ini juga menyerap 1800 tenaga kerja, dengan kisaran 98% tenaga lokal dan sisanya tenaga asing.
“Dulu Pemerintah bilang, kalau bangun smelter di Papua, pasti lebih mahal. Bagi saya, mahal dan tidak itu tergantung pilihan pemerintah. Jadi bukan menjadi alasan apalagi keuntungan smelter di masa depan sudah bisa diprediksi. Pemerintah juga bilang, kalau bangun di Papua, belum ada industri pengelolaan limbahnya. Ya kalau begitu dibangun dulu infrastruktur untuk itu. Pemda pasti akan sangat men-support”, jelas Filep.