JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma SH, M.Hum menyoroti adanya kondisi yang cenderung timpang antara upaya pemberdayaan masyarakat adat dan ketersediaan berbagai sumber dana yang dapat digunakan. Filep menyebut setidaknya terdapat 3 sumber dana yang peruntukannya digunakan dalam upaya pemberdayaan masyarakat adat.
Ketiga sumber dana tersebut adalah Dana Bagi Hasil (DBH) Migas, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility-CSR). Filep menyampaikan, penggunaan DBH Migas tersebut diatur dalam Pasal 34 ayat (1) UU Otsus yaitu sebagai bagian dari Dana Perimbangan. Pada pasal 36 ayat (2) huruf d UU Otsus juga dijelaskan bahwa penerimaan bagi hasil migas dialokasikan sebesar 10% untuk belanja bantuan pemberdayaan masyarakat adat.
“Salah satu optimalisasi pengelolaan penerimaan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus ialah bagi hasil migas. Bagi hasil migas merupakan bagian dari sumber penerimaan provinsi dan kabupaten/kota, sesuai amanat Pasal 34 ayat (1) UU Otsus, yaitu sebagai bagian dari Dana Perimbangan,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan hal yang perlu diperhatikan bahwa pengaturan DBH Migas dan PAD sangat jelas dibedakan dalam UU Otsus. Menurutnya, banyak orang berpikir bahwa DBH Migas merupakan bagian dari PAD Papua, padahal keduanya dibedakan dalam UU Otsus. Sehingga ia menekankan sudah seharusnya ada pemisahan penggunaan dana yang tegas antara DBH Migas dan PAD yang masing-masing memiliki peruntukan dalam pemberdayaan masyarakat adat.
“Pasal 34 ayat (2) UU Otsus mengatur tentang PAD Papua yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi Daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sementara itu, bagi hasil migas sebagai bagian dari Dana Perimbangan, diatur dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b angka 4 dan 5,” ungkapnya.
“Disana ditetapkan bahwa bagi hasil sumber daya alam yaitu pertambangan minyak bumi sebesar 70% dan pertambangan gas alam sebesar 70%. Selanjutnya, bagi hasil ini berlaku sampai 2026 dan diperpanjang sampai 2041; dan mulai tahun 2042, bagi hasil migas menjadi 50% untuk pertambangan minyak bumi dan 50% untuk pertambangan gas alam [Pasal 34 ayat (4), (5), (6) UU Otsus]. Dengan tolok ukur ini, maka sesungguhnya harus ada pemisahan tegas antara Dana Bagi Hasil Migas dan PAD Provinsi Papua/Papua Barat,” jelas Filep Wamafma yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua I Komite I DPD RI.
Filep menambahkan, selain DBH Migas dan PAD, tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility-CSR) juga harus memberikan sumbangan terpisah bagi masyarakat Papua terdampak. Dalam skala nasional, CSR merupakan kewajiban bagi perusahaan, yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), PP Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, UU Nomor 25 tentang Penanaman Modal, dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Sejauh ini, Provinsi Papua Barat memiliki Perdasi Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tanggungjawab Sosial Perusahaan (TSP). Pasal 10 Perdasi ini menyebutkan bahwa TSP dilaksanakan oleh Perusahaan yang berbadan hukum, yang berkedudukan sebagai perusahaan pusat/induk atau cabang perusahaan yang beroperasi di wilayah Provinsi Papua, dan merupakan perusahaan milik Negara/daerah atau perusahaan milik swasta,” katanya.
Lebih lanjut, ia menguraikan bahwa dalam melaksanakan TSP, perusahaan wajib menetapkan komitmen bahwa TSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kebijakan manajemen maupun program pengembangan perusahaan dalam peraturan perusahaan dan/atau perjanjian kerja bersama; wajib menyusun rancangan dan melaksanakan kegiatan TSP sesuai dengan prinsip-prinsip tanggungjawab sosial perusahaan dengan memperhatikan perencanaan pembangunan Provinsi Papua dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan wajib menyampaikan laporan alokasi besaran dana TSP sesuai dengan RKT kepada pemerintah daerah.
“Sementara itu di Provinsi Papua Barat, tidak ada pengaturan khusus tentang hal ini, kecuali disinggung dalam Perdasus Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pembangunan Berkelanjutan di Provinsi Papua Barat. Pada Oktober 2021, Pemkab Manokwari dan DPRD menyepakati Ranperda tentang Tanggungjawab Sosial Perusahaan. Meskipun belum ada Perdasus-nya, namun karena CSR merupakan perintah UU, maka setiap perusahaan yang beroperasi di Papua Barat harus mengimplementasikannya,” jelas Filep.
Dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa DBH Migas berbeda secara signifikan dengan PAD dan dana CSR. Dalam kaitan dengan masyarakat adat, maka setiap dana ini sudah seharusnya dapat digunakan untuk pemberdayaan masyarakat adat.
“Catatan kritisnya disini ialah mengapa pemberdayaan masyarakat adat cenderung kurang diperhatikan pemerintah, sementara dananya bersumber dari 3 aspek yaitu dana bagi hasil migas, PAD, dan CSR? Pertanyaan ini harus menjadi refleksi bersama bagi pelaksanaan Otsus jilid 2 ini!” tegas Filep.
Dalam kaitan ini, Filep Wamafma telah memfasilitasi masyarakat adat Suku Sumuri Kabupaten Teluk Bintuni untuk melakukan audiensi dengan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI. Audiensi tersebut berlangsung di Jakarta dan diterima langsung oleh Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal BKPM Dr. Achmad Idrus, MM.
Audiensi ini merupakan tindak lanjut upaya Filep Wamafma saat menerima aspirasi dari perwakilan masyarakat adat suku Sumuri di kampus STIH Sanggeng Manokwari, Kamis (24/2/2022) lalu. Dalam kunjungan ini diantaranya membahas tentang hak ulayat yang kini menjadi areal industri minyak dan Gas Bumi (Migas) di tanah adat Sumuri.
Sementara itu, dalam pertemuan dengan Kementerian Investasi, telah diperoleh sejumlah poin penting diantaranya (1) Kesediaan masyarakat adat untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam hal pengembangan investasi di tanah Sumuri dengan semangat saling menguntungkan (2) Meminta dukungan dalam pengembangan SDM lokal.
(3) Mengundang Menteri Investasi untuk hadir pada kegiatan Sumuri Ramah Investasi dan Promosi Budaya yang dikemas dalam MUBES. (4) Meminta kesediaan Menteri Investasi untuk memihak dengan kami. (5) tim kerja didampingi oleh Bpk Filep Wamafma dan Bpk Robert Kardinal. (6) Penyerahan Dokumen MUBES Suku Sumuri. (UWR)