PAPUA BARAT, JAGAINDONESIA.COM – Dinamika politik terkait keberpihakan orang asli Papua (OAP) dalam pencalonan kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota semakin berkembang seiring dimulainya tahapan Pilkada 2024. Polemik terkait syarat pencalonan calon gubernur (Cagub) dan calon wakil gubernur (Cawagub) juga semakin mengemuka ke tengah publik Papua.
Merespons hal itu, senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma pun angkat bicara. Ia mempertegas hak kesulungan OAP yang telah lama diamanatkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) yang menyebutkan bahwa yang dapat maju menjadi calon gubernur dan wakil gubernur adalah benar-benar orang asli Papua (OAP).
Filep pun mengingatkan perihal aspek historisitas, sosiologi hingga filosofi UU Otsus hadir di tanah Papua. Secara historis, Otsus lahir dari proses politik yang cukup panjang antara pemerintah pusat dengan rakyat Papua.
“Maka kita bisa lihat itu dalam ketentuan pasal 18a dan 18b Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian dijabarkan dalam undang-undang, Otsus merupakan politik hukum negara kepada rakyat Papua. Lalu, kita bicara dari aspek filosofi, filosofi dasarnya adalah bercermin dari histori tadi, berdasar pada prinsip keadilan, negara memberikan keadilan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan kewenangannya, haknya dan akad itulah yang dijabarkan dalam undang-undang Otsus,” sebutnya.
“Lalu dalam aspek sosiologis. Jumlah populasi orang Papua, pola kehidupan sosial orang asli Papua, masyarakat Papua memiliki nilai-nilai adat, nilai-nilai kearifan lokal itu kemudian dijabarkan bahwa ada perbedaan-perbedaan sosiologis, ada perbedaan-perbedaan suku Papua dengan suku Nusantara lainnya. Oleh sebab itu dalam aspek sosiologi, ada dua hal poinnya yaitu eksistensi orang asli Papua secara personal dan eksistensi masyarakat adat sebagai komunal. Dua hal inilah yang menjadi subjek utama dalam pembahasan konteks otonomi khusus. Jadi termasuk dalam Pilkada ini, harapan saya harus memperhatikan amanah UU Otsus tersebut,” kata Filep lagi.
Ia kembali menegaskan bahwa Undang-undang Otsus sudah menyampaikan secara tegas tentang syarat menjadi gubernur dan wakil gubernur adalah orang asli Papua (OAP). Filep lantas menekankan perihal pentingnya memastikan keaslian sosok calon OAP, utamanya sebagai bahan pertimbangan bagi Majelis Rakyat Papua (MRP).
“Soal definisi OAP, ada dua unsur yang terkandung di dalamnya sesuai dengan ketentuan pasal 1 UU Otsus yaitu orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai Orang Asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Bagian yang kedua ini yakni pengangkatan oleh tokoh adat perlu diperhatikan lebih dalam,” ujarnya, dikutip dari YouTube Jas Merah, Selasa (7/5/2024).
Filep menerangkan bahwa tokoh adat atau kepala suku memiliki peran yang sangat besar dalam hal pengangkatan orang lain atau orang non-Papua melalui mekanisme adat. Menurut Filep, setidaknya terdapat 3 hal yang harus diperhatikan Kepala Suku atau tokoh adat dalam hal pengangkatan ini.
“Yang pertama harus memperhatikan bahwa seseorang yang diangkat tidak semata berniat untuk kepentingan politik sesaat, misalnya untuk pencalonan gubernur dan wakil gubernur. Dalam hal ini jika perlu dibuatkan regulasi khusus guna mempertajam filter kepentingan itu. Kemudian, yang diangkat wajib memiliki status hukum adat yang jelas dalam kehidupan keluarga, kelompok, suku dan bangsa daripada yang mengangkat, punya hak dan punya kewajiban adat, punya hak dan punya kewajiban yang melekat dalam suku dan juga dalam suku bangsa keluarga yang mengangkat,” jelasnya,
“Yang kedua, lalu siapakah yang mengangkat? Kalau perorangan yang mengangkat maka wajib hukumnya yang diangkat harus melakukan perubahan status atau identitas secara hukum, harus mengubah identitas marga, asal usul, identitas keluarga dan semua yang terkait dengan data kependudukan harus disempurnakan dan disesuaikan dengan status perubahan berdasarkan pengangkatan yang dilakukan oleh keluarga atau suku,” sambungnya.
Kemudian, yang ketiga, di sisi yang mengangkat tidak memiliki kepentingan politik tertentu. Artinya, setiap orang maupun suku atau kepala suku atau masyarakat adat dalam melakukan pengangkatan, tidak berorientasi untuk pencalonan sebagai gubernur dan wakil gubernur. Bahkan jika perlu dibuatkan regulasi tertentu untuk memperkuat ketentuan tersebut.
“Karena tidak ada di dalam hukum adat atau hukum kebiasaan terkait dengan mengangkat seseorang dalam rangka untuk menjadi calon gubernur dan wakil gubernur. Hal-hal inilah yang harus mendapatkan koreksi dan verifikasi oleh Majlis Rakyat Papua (MRP) sehingga tidak ada ruang bagi siapapun yang mempermainkan hukum adat untuk kepentingan politik. Jadi siapapun yang ingin melalui mekanisme adat maka dia wajib patuh dan taat, keturunannya, keluarganya, anak cucunya juga wajib menjadi bagian daripada keluarga itu, wajib memiliki hak yang melekat pada keluarga inti lain, wajib mengatasnamakan suku dan marga sejak penetapannya,” urai Filep.
Lebih lanjut, doktor hukum alumnus Unhas Makassar itu turut mengingatkan agar keberpihakan bagi OAP dalam Pilkada 2024 dapat diwujudkan melalui adanya ruang yang seluas-luasnya terkait pencalonan OAP sebagai Cagub-Cawagub maupun calon bupati/walikota.
“Sebagai senator Papua Barat, saya berharap ada ruang yang terbuka seluas-luasnya kepada rakyat Papua untuk memimpin di tanahnya sendiri. Hal ini juga akan mendukung kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Saya juga mengharapkan jangan lagi menggunakan mekanisme pengangkatan dalam rangka untuk kepentingan politik sesaat, tetapi wujudkanlah mimpi putra-putri asli Papua sebagai gubernur dan wakil gubernur dengan mendukung pemimpin-pemimpin terbaik Papua untuk memimpin tanahnya masing-masing,” pungkas Filep.