Selasa, 26 November 2024
BerandaOpiniFreddy Numberi: Ruh Otonomi Khusus Yang Hilang

Freddy Numberi: Ruh Otonomi Khusus Yang Hilang

Otonomi Khusus nomor 21 Tahun 2001 merupakan jalan tengah Pemerintah RI dalam menyelesaikan masalah-masalah di masa lalu sejak 1 Mei 1963 sampai dengan saat ini.

Banyak korban yang berjatuhan serta ada juga yang exodus ke luar negeri.  Ingatan penderitaan ini (memoria passionis) tidak bisa terhapus, khususnya pada generasi milenial Papua dewasa ini yang menyaksikan ayahnya dibunuh, ibunya diperkosa, saudaranya dibunuh dan lain-lain.

UU Otsus ini lahir sebagai jawaban atas penderitaan panjang Orang Asli Papua (OAP) sejak kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi tercinta. Kita beruntung bahwa pencipta Bendera Bintang Kejora Bapak Nicholas Jouwe (alm) bisa kembali ke Indonesia pada bulan Juni tahun 2009 dan saudara Nick Meseth sebelumnya sudah kembali ke Indonesia pada tahun 2007.

Di era Bung Karno, Orang Asli Papua (OAP) memang di anak-emaskan, karena sejak Bung Karno berhasil mengembalikan Papua di bawah kepemimpinannya, beliau banyak menjanjikan adanya kebebasan, persamaan hak, persaudaraan dan OAP menjadi tuan di negerinya sendiri dalam bingkai NKRI.

Hal ini dibuktikan Bung Karno dengan mengangkat Eliezer Jan Bonay (seorang anak adat dari wilayah budaya Sairei) sebagai Gubernur pertama Irian Barat. Disamping itu Bung Karno memberlakukan 2 (dua) sistem mata uang yaitu Rupiah Irian Barat dan Rupiah Indonesia dengan nominal pada tingkat 1 Rupiah Irian Barat setara dengan 18,9 Rupiah Indonesia, tahun 1963 – 1973. Saat itu,  satu negara memiliki 2 (dua) mata uang.

Namun setelah Bung Karno lengser, keadaannya berbanding terbalik dari yang ada sebelumnya. Kemerdekaan dan kebebasan OAP mulai dikekang dengan berbagai macam cara, sehingga OAP merasa seperti dijajah kembali.

Banyak orangtua yang ikut berjuang melawan Belanda waktu itu, merasa bahwa atmosfir” di zaman Presiden Soekarno sudah berubah.

Setelah Presiden Soekarno lengser pemerintahan di Jakarta tidak mau tahu menahu mengenai budaya dan pengalaman sejarah pahit yang membentuk persepsi OAP terhadap orang asing yang datang untuk menguasai negerinya.

Pembangunan dimasa lalu tidak “bottom up” dan lebih banyak “top-down”, bersifat “uniformitas”,  disamakan dari atas sesuai kepentingan pemerintah pusat (otoriter) maupun oknum pengusaha yang mencari lahan usaha di Papua.

Pemikiran bahwa hanya dengan pendekatan keamanan adalah satu-satunya cara untuk mengIndonesiakan OAP ternyata keliru dan gagal dalam “memenangkan hati dan pikiran OAP” (to win the heart and minds of the Papuan peoples).

Era Reformasi 1998

Setelah reformasi 1998 dan lengsernya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998, terjadi eforia demokrasi di seluruh Indonesia, termasuk di Papua.

Pada awal Juli 1998 terjadi demonstrasi besar-besaran di Jayapura oleh masyarakat Papua yang dimotori mahasiswa Universitas Cendrawasih (UNCEN) dengan jumlah ±1000 orang.

Mereka demonstrasi dan meminta bertemu Gubernur Freddy Numberi untuk menyampaikan tuntutan mereka secara tertulis, yaitu demiliterisasi, peninjauan kembali New York Agreement 15 Agustus 1962 dan referendum bagi Papua untuk diteruskan kepada Presiden RI.

Pimpinan Gereja dan Masyarakat Adat memperkuat tuntutan ini dan membentuk Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya (Foreri) dan difasilitasi untuk menemui Presiden B.J. Habibie di Istana Merdeka Jakarta.

Gubernur kemudian membuat surat kepada Presiden Habibie, melalui Menteri Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara dengan Nomor: 600/2919/SET, tertanggal 27 Agustus 1998 perihal permasalahan-permasalahan di Irian Jaya yang akhirnya memicu demonstrasi besar-besaran diatas.

Salah satu cara mpengelola konflik adalah melalui dialog seperti apa yang pernah dicontohkan Presiden B.J. Habibie tahun 1998. Ketika memasuki era Reformasi 21 Mei 1998 (saat itu penulis adalah Gubernur Irian Jaya), masyarakat Papua difasilitasi pemerintah daerah yang berkoordinasi dengan pemerintah pusat, akhirnya pemerintah pusat menerima 100 orang delegasi (Tim 100) yang mewakili OAP dari semua wilayah adat disponsori Foreri (Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya) untuk bertatap muka dan berdialog langsung dengan Presiden RI B.J. Habibie di Istana Merdeka.

Pada pertemuan tanggal 26 Februari 1999 yang berlangsung aman dan demokratis, perwakilan delegasi menyampaikan agar Papua dibiarkan memilih jalannya sendiri diluar sistem NKRI.

Alasannya sangat sederhana, karena OAP merasakan dan mengalami jika dalam proses mengIndonesiakan mereka, dilakukan dengan penuh kekerasan, ketidakadilan, intimidasi dan diskriminasi. (lihat bagan alasan OAP memisahkan diri).

Berdasarkan pengalaman pahit tersebut, mereka merasa bahwa mereka tidak diterima apa adanya, untuk menjadi bagian dari Bangsa Indonesia yang besar dan penuh keberagaman ini. Delegasi juga menambahkan bahwa sebagai OAP, mereka merasakan adanya usaha yang sistematis untuk menghilangkan identitas budaya ke Papua-annya.

Sejenak Presiden B.J. Habibie merenung, namun dengan bijak dan sangat diplomatis beliau menjawab: “Saudara-saudaraku, mengenai kekerasan dan pelanggaran HAM, saya minta, ampunilah mereka karena mereka tidak mengetahui apa yang diperbuatnya (mengutip kata-kata Tuhan Yesus Kristus). Tentang permintaan memisahkan diri, saya minta, pulanglah dan renungkan dulu hal itu”.

Setelah melakukan perenungan, maka Tim 100 kembali untuk menyampaikan hasilnya, namun pintu Jakarta di tutup rapat-rapat. Hal ini tentunya memiliki dampak tersendiri yang dapat kita rasakan hingga saat ini. Pertemuan 26 Februari 1999 adalah “embrio” lahirnya Undang-Undang Otonomi Khusus menjawab ruh penderitaan OAP di masa lalu.

Rangkuman Khusus

Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 adalah jalan tengah untuk menjawab penderitaan Orang Asli Papua di masa lalu (memoria passionis) dan merupakan ruh untuk menyelesaikan secara komprehensif, bermartabat, dengan menghormati dan menghargai Hak Asasi Manusia Orang Asli Papua sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila.

Laurence Sullivan dalam tulisannya Challenges to Special Autonomy in the Province of Papua, Republic of Indonesia (2003:3-7), mengatakan bahwa UU Otsus No. 21/2001 memuat 4 (empat) prinsip utama, yaitu: (1) kewenangan yang lebih besar dan luas kepada pemerintah lokal (local government); (2) rekonsiliasi dan penghormatan terhadap hak-hak dasar orang Papua; (3) mengakomodasikan partisipasi masyarakat adat Papua dalam hal pemerintahan yang baik (good governance); (4) proteksi dan penegakan HAM, tanpa ada diskriminasi berdasarkan kesetaraan.

Proteksi dan penegakan HAM sebagaimana penjelasan Laurence Sullivan diatas justru dimuat di dalam Undang-Undang Otsus Nomor 21 Tahun 2001, Bab XII – HAK ASASI MANUSIA, Pasal 45 (Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional HAM, Pengadilam HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua) dan Pasal 46 (tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah klarifikasi sejarah Papua dan merumuskan serta menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi)

Sayangnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang  Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, tanggal 6 Oktober 2004 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-IV/2006, tanggal 7 Desember 2006. Dengan demikian ruh kekhususan di dalam Otsus itu pada pasal 45 dan pasal 46 hilang, dengan demikian juga bagi masyarakat Undang-Undang Otsus 21 Tahun 2001 hasil revisi dapat dikatakan bukan Undang-Undang Khusus lagi. Padahal ruh Otsus Nomor 21 tahun 2001 adalah bagaimana mengatasi pelanggaran HAM dan Pelurusan Sejarah di masa lalu.

Keuangan dan kebijakan pemekaran dalam rangka rentang kendali pemerintahan di Papua memang penting, namun, lebih pentih lagi adalah ruh Otonomi Khusus yang hilang akibat keputusan MK diatas.

OAP bersyukur bahwa Presiden Jokowi dapat menetapkan: Wamena berdarah tahun 2000, korban 47 orang, Wasior berdarah tahun 2001, korban 117 orang, Paniai berdarah tahun 2014,  korban 18 orang sebagai pelanggaran HAM berat untuk diproses lebih lanjut.

Penutup dan Saran

Dengan direvisinya Undang-Undang Otsus Nomor 21 Tahun 2001 hanya menyangkut Pasal 34 (Bab IX-Keuangan), dimana penerimaan dalam pelaksanaan Otsus yang selama 20 (dua puluh) tahun hanya 2 % menjadi 2,25 % dan berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun.

Untuk pemekaran sesuai pasal 76 Rancangan Undang-Undang Otsus perlu diperhatikan agar tidak memecah 7 (tujuh) Wilayah Adat/Budaya yang ada. Rencana pemekaran menjadi 6 (enam) Provinsi tentunya sangat diharapkan masyarakat dalam rangka rentang kendali pemerintahan yang lebih efektif dan efisien serta lebih mendekatkan pelayanan pemerintah terhadap OAP.

Dengan hanya fokus pada revisi Rancangan Undang-Undang Otsus Nomor 21 Tahun 2001 pada bidang keuangan dan pemekaran, disarankan kepada Presiden Jokowi untuk memberikan payung hukum yang lain dalam rangka Penyelesaian Sejarah masa lalu dan kepastian hukum tentang pelanggaran HAM di Papua.

Hal ini penting mengingat Presiden Jokowi telah memutuskan bahwa 3 (tiga) kasus di Papua yang terjadi pada tahun 2000-an sebagai pelanggaran HAM berat.

Disamping itu untuk menghindari terjadinya pelanggaran HAM kedepan dengan tidak adanya KKR maka perlu pembangunan di Indonesia khususnya Papua didasarkan pada deklarasi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang Hak Asasi Pembangunan (UNGA Resolution 41/128, 4 Desember 1986).

Sesuai Resolusi tersebut UNDP (United Nations Development Program) menempatkan Keamanan Manusia (human security) sebagai prioritas utama dalam pembangunan yang dilaksanakan oleh masing-masing negara anggota PBB. Hal ini tidak lain dalam rangka mengatasi ancaman terhadap umat manusia sebagai ciptaan Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Gagasan Keamanan Manusia penting, mengingat ancaman non militer dalam keamanan global dewasa ini menjadi paramount dengan latar belakang: (1) Adanya konflik sipil bersenjata dalam suatu negara ;  (2) Tumbuh dan berkembangnya tuntutan demokrasi ; (3) Intervensi kemanusiaan oleh PBB ; dan (4) Meluasnya kemiskinan dan pengganguran akibat krisis ekonomi.

Abraham Lincoln Presiden Amerika Serikat ke-16 berkata: “Sebuah rumah yang didalamnya saling terpecah tidak dapat tegak berdiri”. (Freddy Numberi, Quo Vadis Papua, 2013: hal.448)

(Artikel ini adalah tulisan Freddy Numberi, Gubernur Irian Jaya ke-11)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terkini

- Advertisment -