PAPUA, JAGAINDONESIA.COM – Peran media massa dan media sosial sangat penting bagi perjuangan hak-hak masyarakat adat karena menjadi kanal dalam berekspresi. Hak berekspresi dilindungi dalam Konstitusi, UU Hak Asasi Manusia, dan berbagai instrumen HAM internasional.
Demikian disampaikan oleh Plt Kabiro Dukungan Pemajuan HAM Komnas HAM, Mimin Dwi Hartono dalam sarasehan “Peran Media Massa & Media Sosial dalam Mendukung Perjuangan Hak Masyarakat Adat & Sebagai Ruang Kebebasan Berpendapat” di Kampung Nendali, Kab. Jayapura, pada 26 Oktober 2022.
Komnas HAM telah menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak Berpendapat dan Berekspresi, sebagai instrumen perjuangan masyarakat adat dalam memperjuangkan haknya berekspresi.
“Ekspresi masyarakat adat dilindungi dalam berbagai instrumen HAM, jadi jangan khawatir dalam menyampaikan ekspresinya,” ujar Mimin, di hadapan sekitar seratus peserta sarasehan yang menjadi bagian dari peserta Konggres Masyarakat Adat Nusantara ke VI yang dilaksanakan di wilayah adat Tabi, Papua, pada 24-30 Oktober 2022.
Untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari publik, perjuangan masyarakat adat harus dikemas dalam pesan yang populer, misalnya dengan memperkenalkan alam dan pangan lokal.
“Jadi publik tidak hanya disuguhi dengan berita tentang konflik, tetapi juga hal-hal positif tentang kehidupan masyarakat adat,” ujar Mimin.
Sedangkan narasumber lain yaitu Laode M Syarief dari Kemitraan menyampaikan, keberpihakan media perlu selalu dibunyikan, terutama untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat.
“Media harus menjadi tempat pembelajaran untuk perjuangkan hak Masyarakat Adat yang suranya kadang tidak terdengar atau tidak sampai pada media dan masyarakat umum,” kata Laode.
Selanjutnya, Victor Mambor dari Jubi menyatakan bahwa masyarakat adat juga harus mampu membangun media sendiri untuk mengabarkan berbagai isu tentang masyarakat adat, dan tidak bersandar pada media arus utama saja. Hal senada disampaikan oleh Harry Surjadi dari Tempo Witness yang mendorong AMAN sebagai organisasi yang menaungi jutaan masyarakat adat untuk membangun jurnalisme rakyat.
“Kami menyediakan platform untuk membangun jurnalisme sebagai gerakan rakyat,” kata Harry.
Sementara itu, Alfa Gumilang, staf Infokom Pengurus Besar AMAN menyatakan bahwa media-media penting untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi suara-suara masyarakat adat yang selama ini dipinggirkan. Terlebih, ketika terjadi konflik perampasan wilayah adat oleh perusahaan atau pemerintah, suara masyarakat adat kerap tak mendapatkan porsi yang baik.
“Hanya ada beberapa media yang secara konsisten memberikan ruang yang cukup baik bagi suara Masyarakat Adat,” ucapnya.
Karena itu, ia melanjutkan, masyarakat adat kerap menggunakan media sosial sebagai ruang untuk menyuarakan masalah-masalah yang dihadapi. Walau saat ini dukungan publik secara umum belum terlihat masif atas isu-isu masyarakat adat, terutama pada agenda pengesahan RUU Masyarakat Adat.
Jika RUU Masyarakat Adat disahkan, perampasan-perampasan wilayah adat tidak akan terjadi lagi. Sehingga sangat penting bagi publik luas untuk mau mendukung perjuangan pengesahan RUU yang sudah 12 tahun mengendap di DPR,” kata dia.
Peran media sosial juga menjadi sorotan Mardiyah Chamim dari Development Dialogue Asia. Ia menilai media sosial bisa menjadi senjata lain dari perjuangan masyarakat adat.
“Kita perlu gunakan semua senjata: media arus utama dan media sosial. Keduanya punya karakter. Media arus utama bisa ke advokasi yang terarah dan media sosial mengajak publik untuk dukung atau peduli dengan apa yang dialami Masyarakat Adat,” ujar Mardiyah yang pernah berprofesi sebagai jurnalis.
Namun demikian, ruang terbuka untuk melakukan kampanye di media sosial bukan tanpa masalah. Mereka yang bersuara di media sosial masih terus dibayangi oleh UU ITE yang bisa kapan saja menjerat masyarakat adat yang bersuara kritis. Padahal, bersuara di media sosial merupakan bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Komnas HAM, jelas Mimin, sudah melakukan kajian dengan banyak pasal yang mengkriminalkan orang yang berekspresi. “Hak kebebasan berpendapatan dan berkespresi ini fundamental. Bayangkan jika ada peristiwa yang mengusik keadilan dan tak manusiawi, maka masyarakat adat berhak berpendapat dan berkespresi,” ujar Mimin.
Turut hadir Dinna Noach, Staf Khusus Gubernur NTT Bidang Disabilitas’ Ridzki Rinanto Sigit dari Mongabay Indonesia; dan Yuliana Langowuyo, Direktur SKPKC Fransiskan Papua.
Sarasehan dilaksanakan kerja sama antara Komnas HAM, AMAN, dan Human Rights Working Group (HRWG) ditujukan untuk mendapatkan berbagai rekomendasi yang akan dibahas ke sidang-sidang pleno di KMAN VI dan Naina ditetapkan sebagai program dan rencana kerja Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. (rls)