JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Sebanyak lima Pekerja Migran Indonesia (PMI) ditembak di perairan Tanjung Rhu, Selangor, Malaysia, Jumat (24/1/2025) dini hari. Penembakan itu dilakukan oleh aparat Malaysia yakni Agensi Penguatkuasa Maritim Malaysia (APMM).
Informasi dari Kepolisian Diraja Malaysia (PDRM) menyebutkan bahwa APMM menembaki sebuah kapal yang diduga membawa WNI yang hendak meninggalkan Malaysia secara ilegal.
Atas kejadian tersebut, Kementerian P2MI telah menyampaikan kecaman terkait penggunaan kekuatan yang berlebihan. Berkaitan dengan ini, Ketua Komite III DPD RI, Filep Wamafma, yang juga membidangi ketenagakerjaan, menyampaikan pandangannya.
“Saya berbelasungkawa atas peristiwa ini, khususnya kepada korban yang meninggal maupun yang luka. Peristiwa ini sangat mengejutkan, di sisi lain kita baru saja memiliki kementerian yang khusus mengurus Pekerja Migran Indonesia (PMI),” kata Filep (26/1/2025).
“Saya sangat menyayangkan dan mengecam tindakan berlebihan yang dilakukan otoritas Malaysia, yang menurut saya harus diusut tuntas. Dalam konteks diplomasi, kerja sama, pemberian informasi hukum dan politik timbal-balik, antara Indonesia dan Malaysia, tindakan penembakan ini saya kira cukup berlebihan,” tambah Filep.
Lebih lanjut, Senator Papua Barat ini memberikan catatan lain bagi perlindungan terhadap PMI. Ia menyinggung perihal persoalan PMI Non Prosedural yang perlu mendapat perhatian pemerintah.
“Saya mendapatkan informasi bahwa saudara-saudara PMI yang ditembak ini merupakan PMI Non prosedural. PMI Non prosedural ini yang ingin saya kritisi. BP3MI Kalimantan Utara pernah mencatat ada 1.822 PMI Non Prosedural periode Januari-Oktober 2024 yang dideportasi pemerintah Malaysia melalui Kabupaten Nunukan. PMI Non Prosedural ini kan WNI yang bekerja ke luar negeri tetapi tidak melalui prosedur penempatan yang benar, atau ilegal, tidak sesuai regulasi. Inilah yang seharusnya menjadi titik sentral penyelesaian masalah internal pekerja migran Indonesia,” ungkap Filep.
“Maka catatan saya ialah, pertama, Kementerian P2MI harus punya database yang kuat dan terintegrasi mengenai daerah-daerah penyalur PMI non prosedural. Daerah-daerah ini perlu diawasi secara serius. Kedua, Kementerian P2MI harus melakukan investigasi mendalam terkait pola-pola para pekerja migran Indonesia dan modus operandi untuk keluar negeri secara ilegal. Apakah ada oknum pemerintah yang juga terlibat? Apakah ada agensi-agensi yang ikut bermain?” tegasnya.
Kemudian, Filep menambahkan poin ketiga, pentingnya melakukan reformasi tata kelola pekerja migran Indonesia. Menurutnya, pemerintah seringkali terlambat tanggap yakni pasca terjadi kasus baru sibuk mengecam.
“Maka semestinya juga mengutamakan bertindak preventif, yakni ada gerakan aktif lebih dulu untuk mengatasi supaya jangan sampai ada peristiwa yang sama,” tegas Filep lagi.
Pace Jas Merah itu pun mengingatkan risiko PMI non prosedural. Menurutnya, risiko menjadi PMI non prosedural itu sangat besar, mulai dari risiko keamanan yang tidak menentu, pengupahan yang rendah, tidak ada jaminan sosial atau asuransi, tidak punya kekuatan hukum apapun apabila terkena masalah karena memang hak dan kewajibannya dibatasi.
“Oleh sebab itu, Kementerian P2MI dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), benar-benar harus proaktif menyampaikan informasi kepada para pekerja migran Indonesia terkait hal-hal mendasar ini. Kami di Komite III DPD RI siap membantu,” pungkas Filep.