JAGAINDONESIA.COM – Persoalan ketimpangan capaian pembangunan manusia nampaknya masih menjadi tantangan sekaligus isu penting bagi pemerintah dalam mencapai pemerataan pembangunan nasional. Belum lama ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mempublikasikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2021 dengan capaian IPM tertinggi oleh provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Papua-Papua Barat berada di posisi terendah.
Berdasarkan data BPS pada Mei 2022 ini, capaian IPM nasional tercatat sebesar 72,29. Adapun 3 provinsi dengan capaian IPM tertinggi adalah Provinsi DKI Jakarta (81,11), Provinsi DI Yogyakarta (80,22) dan Provinsi Kalimantan Timur (76,88).
Sedangkan, 3 provinsi dengan capaian IPM terendah yakni Provinsi Nusa Tenggara Timur (65,28), Provinsi Papua Barat (65,26) dan Provinsi Papua (60,62).
Menanggapi hal itu, Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma S.H., M.Hum., menekankan orientasi pembangunan manusia di tanah Papua harus berfokus pada sektor-sektor substansial yakni sektor pendidikan, kesehatan dan penguatan ekonomi. Menurutnya, masih banyak persoalan mendasar di daerah yang harus ditangani secara serius untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Papua.
“Capaian IPM Papua-Papua Barat yang selalu berada di dua terendah nasional tentu menjadi evaluasi dan autokritik terutama bagi pemerintah dalam membangun Papua selama ini. Kami juga apresiasi program Digitalisasi Sekolah Kemdikbud, namun perlu diperhatikan yang utama adalah bagaimana kita terus meningkatkan kualitas SDM Papua, transfer pengetahuan dan skill secara terstruktur, masif dan kontinyu,’ ujar Filep, Selasa (7/6/2022).
“Artinya, penguatan kapasitas para pendidik dan penambahan tenaga pendidik berkualitas hingga ke pelosok desa di wilayah Papua perlu menjadi fokus dan tujuan utama. Apalagi konsep pembangunan manusia pada dasarnya memposisikan manusia sebagai kekayaan bangsa yang sesungguhnya,” tambahnya.
Selain itu, Filep juga menyoroti angka stunting di Papua Barat cukup tinggi dan membutuhkan perhatian serius. Angka stunting di Papua Barat pada tahun 2022 secara nasional berada pada angka 26,2 persen dari 13 kabupaten dan kota. Bahkan enam daerah diantaranya memiliki prevalensi balita stunting di atas 30 persen.
“Prevalensi stunting anak yang lebih tinggi dari presentase nasional tentu sangat memprihatinkan. Hal ini sangat berkaitan dengan tingkat kemampuan anak menyerap pelajaran. Efek dari kondisi ini akan melahirkan generasi yang lemah. Untuk itu, perlu ada intervensi kesehatan segera dari pemerintah,” ungkapnya.
“Persoalan ketersediaan tenaga kesehatan, rasio jumlah bidan dan perawat berikut fasilitas-fasilitas dasar yang dibutuhkan harus segera ditangani secara serius. Papua Barat harus secepatnya bebas dari masalah stunting,” sambungnya.
Di sisi lain, tingkat pengangguran di Papua dan Papua Barat juga masih menjadi persoalan. Saat ini Tingkat Pengangguran di Provinsi Papua mencapai 3,2 persen. Meskipun kondisi itu masih lebih baik dibandingkan tahun 2020, saat tingkat pengangguran terbuka Papua mencapai 4 persen akibat pandemi COVID-19.
Sementara itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Papua Barat pada Februari 2022 menyentuh angka sebesar 5,78 persen. Menurut Filep, masih tingginya angka pengangguran ini harus dibarengi dengan berbagai program yang tepat sasaran seperti penyediaan lapangan pekerjaan yang lebih luas, kesempatan kerja dan peningkatan keterampilan maupun keahlian tertentu terutama bagi masyarakat asli Papua.
Lebih lanjut, sesuai dengan konsep dasar pembangunan manusia, Filep berharap akan tercipta lingkungan yang memungkinkan bagi rakyat Papua untuk menikmati umur panjang, sehat, dan menjalankan kehidupan yang produktif. Terlebih, hal ini sejalan dengan Nawa Cita ketiga Presiden, “Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah dan Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan”. (UWR)