JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menjadi pembicara kunci pada seminar dan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Gagasan Amandemen V UUD NRI 1945 : Penghapusan Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Membuka Calon Presiden Perorangan di Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (8/6/2021).
“Mengapa saya datang ke kampus-kampus untuk diskusi? Mungkin ada yang bertanya ada apa ketua DPD RI bicara konstitusi, bukannya DPD RI adalah wakil daerah yang harus fokus memperjuangkan kepentingan daerah?” ujar LaNyalla membuka pengantarnya.
Menurut senator Jawa Timur itu, sejak dilantik sebagai ketua DPD RI pada Oktober 2019 lalu, dia memutuskan untuk turun langsung ke daerah melihat dan mendengar aspirasi serta permasalahan yang dihadapi daerah.
Hingga hari ini, LaNyalla sudah keliling ke-32 provinsi di Indonesia, hanya kurang dua saja yakni Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
“Dari perjalanan itu saya menyimpulkan hampir semua permasalahan di daerah ini sama, mulai dari persoalan sumber daya alam daerah yang terkuras hingga kemiskinan yang jauh dari kata mandiri. Ternyata akar persoalannya ada di hulu bukan di hilir,” ungkapnya.
Mantan Ketua Umum PSSI itu, akar persoalan yang ada di hulu adalah ketidakadilan sosial. Padahal keadilan sosial adalah tujuan hakiki dari lahirnya negara ini seperti dicita-citakan para pendiri bangsa dan menjadi sila pamungkas dari Pancasila.
“Hal ini terjadi karena adanya kekuatan modal dan kapital dari segelintir orang untuk mengontrol dan menguasai kekuasaan,” ucap LaNyalla.
Dikatakan LaNyalla, Undang-Undang dan konstitusi memang dibuka ruang terjadinya tindakan menguasai dan menguras kekayaan negara. Sehingga kata dia, pembenahan atau koreksi atas hal itu harus dilakukan di hulu bukan di hilir.
“Bukan sibuk melakukan kritik terhadap pemerintah atau presiden. Karena presiden hanya menjalankan konstitusi dan Peraturan Perundang-Undangan. Meskipun presiden bersama DPR membentuk Undang-Undang bahkan presiden juga bisa menerbitkan peraturan pengganti Undang-Undang,” katanya.
“Karena itu saya datang ke kampus-kampus untuk menggugah kesadaran politik, untuk pemantik pemikiran kaum terdidik dan para cendekiawan agar terbangun suasana kebatinan yang sama yaitu untuk memikirkan bagaimana Indonesia kedepan lebih baik, bagaimana Indonesia bisa menjadi negara seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa dengan bertanya kepada hati nurani kita apakah arah perjalanan bangsa ini semakin menuju apa yang dicita-citakan atau semakin menjauh dari cita-cita yang tertuang dalam nilai-nilai Pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,” sambungnya.
Alumni Universitas Brawijaya Malang itu pun mengurai dua persoalan demokrasi yang tengah dialami bangsa. Pertama, ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold. Kedua, peluang calon presiden perorangan atau non partai politik.
Dimana, dalam konstitusi tidak ada perintah ambang batas pencalonan presiden, yang ada adalah ambang batas keterpilihan presiden untuk menyeimbangkan antara popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar hasil amandemen Pasal 6a ayat 3 dan 4.
“Itulah mengapa di Undang-Undang Dasar hasil amandemen Pasal 6a ayat 3 ditulis pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara pemilihan umum dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi presiden dan wakil presiden,” jelasnya.
Sedangkan ayat 4 mengatakan dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih rakyat secara langsung dan pasangan terpilih dengan suara terbanyak dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
“Ayat 3 dan 4 itu jelas berbicara tentang ambang batas keterpilihan bukan pencalonan, sedangkan terkait pencalonan Undang-Undang Dasar hanya hasil amandemen. Jelas mengatakan tidak ada ambang batas karena dalam Pasal 6a ayat 2 disebutkan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum yang normanya adalah setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan pasangan capres dan cawapres, dan pencalonan itu diajukan sebelum dilaksanakan. Tetapi kemudian lahir tentang pemilu Undang-Undang pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008,” katanya.
“Dalam Undang-Undang tersebut di pasal 222 disebutkan pasangan calon diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi syarat perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya,” papar LaNyalla.
Selain memberi ambang batas yang angkanya entah dari mana, dan ditentukan ditentukan oleh siapa di pasal tersebut juga terdapat kalimat pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Dimana kemudian menjadikan komposisi perolehan suara partai secara nasional atau kursi DPR diambil dari komposisi yang lama atau periode 5 tahun sebelumnya. Jelas di pasal dalam Undang-Undang pemilu tersebut bukan dari hasil Pasal 6a UUD hasil amandemen, karena pasal tersebut tidak ada ambang batas pencalonan.
“Sungguh pasal yang aneh dan menyalahi Undang-Undang Dasar apalagi menggunakan basis hasil suara yang sudah basi,” kata pria yang lahir di Jakarta 10 Mei 1959 ini.
Jadi, sambung mantan ketua umum PSSI itu, selama Undang-Undang ini berlaku maka Pilpres 2024 mendatang, selain masih menggunakan ambang batas pencalonan juga menggunakan basis suara pemilih tahun 2019 kemarin. Padahal di 2024 kemungkinan ada calon baru yang lulus verifikasi KPU dan ditetapkan menjadi peserta pemilu.
“Lantas apakah mereka tidak bisa mengajukan pasangan capres dan cawapres? Padahal amanat konstitusi jelas memberikan hak pengusung pada partai politik peserta pemilu,” tanya LaNyalla.
Jadi, tambahnya, Undang-Undang pemilu di pasal 222 itu dapat disimpulkan adalah design besar dari oligarki untuk menguasai negara secara keseluruhan.
“Sehingga negara mengabdi kepada tujuan oligarki untuk memperkuat akumulasi kekayaannya kalau perlu negara harus menjadi pelayan bagi kaum oligarki,” tandas LaNyalla. (*)