PAPUA, JAGAINDONESIA.COM – Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan menyampaikan penggunaan pendekatan keamanan dalam penanganan persoalan di Papua kembali memperlihatkan implikasi buruknya terhadap upaya penyelesaian konflik dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Penggunaan pendekatan tersebut berimplikasi terhadap eskalasi konflik yang terus meningkat melalui pelbagai kasus-kasus yang berujung tindakan kekerasan dan/atau penganiayaan terhadap warga lokal, bahkan hingga berakibat hilangnya nyawa.
Koalisi yang terdiri atas KontraS, Imparsial, PBHI Nasional, YLBHI, LBH Jakarta, LBH Pos Malang, LBH Masyarakat, SETARA Institute, Amnesty International Indonesia, Public Virtue Institute, ICW, Elsam, HRWG, ICJR, LBH Pers, WALHI, Centra Initiative menyebutkan, peristiwa pembunuhan keji disertai mutilasi pada 22 Agustus 2022 terhadap 4 (empat) warga sipil yang dilakukan oleh 6 (enam) prajurit TNI-AD dari kesatuan Brigade Infanteri 20/Ima Jaya Keramo Kostrad menjadi tragedi paling memilukan.
Seminggu berselang, pada 30 Agustus 2022 tragedi kemanusiaan kembali terulang di Mappi, Papua dengan memakan 4 korban warga sipil yang satu diantaranya meninggal dunia. Pelakunya diduga kuat merupakan prajurit TNI dari kesatuan Satgas Yonif Raider 600/Modang.
Kasus-kasus tersebut semakin mencerminkan penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfil) terhadap HAM menjadi persoalan serius yang perlu dialamatkan terhadap pendekatan keamanan dalam penanganan konflik di Papua. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengecam keras segala bentuk tindakan kekerasan terhadap orang asli papua (OAP) yang dilakukan oleh aparat keamanan. Rentetan tragedi kemanusiaan yang terus terjadi dan berulang terhadap warga sipil di Papua, menunjukan watak negara yang tidak bertanggung jawab dalam upaya memberikan perlindungan hak atas rasa aman bagi setiap orang Papua.
2 (dua) peristiwa di atas menjadi fenomena dari puncak gunung es akibat dari kebijakan dan pendekatan pemerintah yang keliru. Selama ini pemerintah gemar mengedepankan pendekatan keamanan. Kondisi tersebut tergambar dari banyaknya pengerahan pasukan keamanan ke wilayah-wilayah konflik. Alih-alih menciptakan perdamaian dan ketertiban, yang terjadi justru semakin banyak peristiwa kekerasan dan menimbulkan korban jiwa. Tidak jarang yang menjadi korban ialah masyarakat sipil.
Selain itu, perlu diperhatikan juga bahwa masifnya peristiwa kekerasan di tubuh TNI tidak dapat dilepaskan dari persoalan peradilan militer yang hingga kini tak kunjung diperbaiki. Sejak awal, koalisi menilai peradilan militer banyak menuai masalah mulai dari prosesnya yang tidak akuntabel hingga menjadi ruang impunitas. Jika mengacu pada agenda reformasi sektor keamanan, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana harus dibawa dan diadili melalui mekanisme peradilan umum. Sayangnya, carut marutnya peradilan militer juga tidak dibarengi dengan upaya untuk segera dilakukan reformasi.
Berkaitan dengan peristiwa kekerasan yang terus terjadi di tanah Papua, KontraS sebelumnya telah melakukan pemantauan, dalam rentang waktu Januari – Agustus 2022 terdapat 8 tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota TNI. Adapun locus nya tersebar di wilayah Papua mulai dari Jayapura, Mappi, Sinak, Intan Jaya, Maybrat, Manokwari hingga Mimika. Sedangkan jika digambarkan jenis tindak kekerasannya meliputi kekerasan seksual, penganiayaan, penyiksaan, intimidasi serta penembakan. Setidaknya terdapat 18 warga sipil yang menjadi korban, 7 diantaranya meregang nyawa.
Selain itu, KontraS juga mencatat tindak kekerasan yang dilakukan anggota Polri, setidaknya terdapat 27 peristiwa. Dari Januari-Juli, terdapat 118 korban sipil yang tersebar dari wilayah Yahukimo, Mimika, Jayapura, Nabire, Timika, Wamena, Sorong dan Paniai. Dari ratusan korban, 3 diantaranya meninggal dunia. Adapun jenis tindakan kekerasannya meliputi pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, penganiayaan, intimidasi dan penembakan.
Bahwa berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di Papua, membuktikan pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah tidak menjawab akar persoalan. Negara sudah sepatutnya membaca situasi di Papua dengan melihat pokok masalah. Merujuk riset yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat setidaknya terdapat empat akar persoalan yakni kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik wilayah Papua. Sayangnya, identifikasi empat akar masalah tersebut tidak ditindaklanjuti dengan mengupayakan cara- cara damai berupa pendekatan dialog Atas dasar hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak:
Pertama, Presiden menghentikan pendekatan militeristik dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua. Sebab pendekatan keamanan terbukti tidak berhasil dalam menyelesaikan masalah dan justru berakibat pada masifnya berbagai peristiwa pelanggaran HAM;
Kedua, Panglima TNI segera memberhentikan secara tidak hormat kepada seluruh prajurit TNI yang diduga terlibat dalam peristiwa kekerasan dan Pelanggaran HAM;
Ketiga, Kapolri segera melakukan proses penyelidikan dan penyidikan dalam peristiwa kekerasan yang terjadi secara tuntas, tidak terkecuali kepada para prajurit TNI yang terlibat. Serta memberikan akses hukum dan informasi seluas-luasnya kepada para keluarga korban terkait proses hukum yang sedang berjalan. (rls)