Kekerasan seksual dan perundungan (bullying) tergolong salah satu bentuk kejahatan atas kemanusiaan yang belakangan marak terjadi di tengah masyarakat. Komnas HAM RI melaporkan hal tersebut pada Sesi ke-80 the Committee on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW).
Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik hadir dalam even tersebut pada Kamis (28/10/2021). Ia memberi catatan khusus pada tingginya kasus kekerasan seksual dan mencermati di Indonesia belum ada mekanisme pencegahan dan penanganan secara khusus yang efektif. Untuk itu, ia mendorong agar Pemerintah membangun mekanisme ini dan untuk segera menerapkannya.
“Sayangnya, pembahasan draf rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) belum tuntas dan masih jadi perdebatan karena banyak penolakan dari masyarakat maupun parlemen. Hal ini menurut saya karena terdapat kesalahpahaman yang berkembang. Untuk itu, dalam beberapa kesempatan, Komnas HAM RI turut mendorong dengan menjelaskan dan meyakinkan unsur-unsur di parlemen dan masyarakat (urgensi RUU PKS ini),” ungkap Taufan sebagai pembicara Webinar Gerakan Anti Kekerasa Seksual dan Perundungan yang diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya, Sabtu (6/11/2021).
Hal ini penting, menurut Taufan, karena ketentuan dalam KUHP tidak mencukupi. Sehingga memerlukan regulasi lebih spesifik dan lengkap mengatur hal-hal yang tidak tercakup dalam pasal-pasal di KUHP.
Taufan dalam kesempatan ini juga menuturkan akar permasalahan terjadinya perundungan dan kekerasan seksual, yang disebutnya adalah relasi kuasa. “Korban mengalami diskriminasi berlapis karena usia, jenis kelamin, maupun relasi kuasa (atasan dan bawahan, dosen dan mahasiswa, senior dan junior). Korban berada dalam posisi tidak berkuasa terlebih pelaku dipandang memiliki otoritas lebih,” paparnya.
Kultur di Indonesia dinilai masih permisif dan seakan ada pelaziman terhadap perundungan dan pelecehan, misalnya dalam ejekan terhadap fisik dan orientasi seksual. Banyak masyarakat belum paham bahwa sikap ini termasuk perendahan martabat dan tidak boleh diabaikan.
Kedepan, fokus Komnas HAM RI mengupayakan mekanisme dan regulasi pencegahan dan perlindungan yang optimal dari keberulangan serta kebijakan yang berpihak kepada korban. Komnas HAM RI juga berupaya terus membangun kesadaran HAM di masyarakat untuk menghilangkan segala bentuk pelaziman terhadap perendahan martabat yang ada pada tindakan kekerasan seksual dan perundungan.
Merinci soal mekanisme, Taufan menggagas bahwa harus ada mekanisme komprehensif dalam menghentikan keberulangan. Lantaran kasus perundungan dan kekerasan seksual berpotensi sulit dibuktikan dan sensitif karena menyangkut kondisi psikis.
Beberapa mekanisme yang relevan, yaitu mekanisme pencegahan, mekanisme pengaduan, mekanisme perlindungan korban dan saksi, investigasi kasus yang menerapkan prinsip kehati-hatian dan menjaga privasi, hingga mekanisme pemulihan dengan rehabilitasi psikologis atau yang ia sebut referral system seperti trauma healing, yang kesemua mekanisme ini berpihak kepada korban.
“Agar korban tidak double victim, sudah menjadi korban tindakannya lantas menjadi korban kecaman sosial sehingga berdampak di relasi sosialnya,” ungkap Taufan.
Di akhir sesinya, Taufan juga menyelipkan pesan bahwa penting membuka paradigma penghormatan terhadap martabat manusia untuk menghentikan pelaziman tindakan perundungan dan pelecehan mulai dari ranah keluarga dan institusi pendidikan sebagai titik awal tumbuh kembangnya generasi di masyarakat. (AAP/IW)