PAPUA, JAGAINDONESIA.COM – Pada kesempatan kunjungan ke daerah, Senator Filep Wamafma memperoleh sejumlah pengaduan masyarakat yang cukup menohok. Masyarakat melaporkan minimnya aktivitas pelayanan di Rumah Sakit Umum milik pemerintah maupun swasta.
“Saya mendapat informasi berupa aduan masyarakat bahwa di Papua ini ternyata pelayanan di RS masih sangat terbatas. Misalnya di Unit Gawat Darurat (UGD) dokternya tidak ada di tempat”, ujar Filep kepada awak media (11/5/2024).
“Bahkan dokter ahli terbatas, sementara pasien membutuhkan tindakan cepat. Bagi saya, inilah potret Papua sekarang di tengah melimpahnya dana Otsus. Ini menjadi sebuah ironi yang tidak bisa dibiarkan,” tegas Filep.
Terkait kondisi ini, Pace Jas Merah itu selanjutnya memberi kritik keras kepada pihak-pihak terkait, mengenai pembangunan layanan kesehatan di Papua.
“Kadang saya heran karena yang ditekankan pemerintah pusat, pemprov dan pemda lebih banyak dalam pembangunan infrastuktur misalnya jalan dan gedung pemerintah. Padahal yang urgen dan mendasar ialah kesehatan dan pendidikan sebagai perintah utama UU Otsus. Keselamatan, kesehatan, pendidikan, kemanusiaan, itu yang harus jadi fokus dan indikator keberhasilan Otsus,” kata Filep lagi.
Wakil Ketua Komite I DPD RI ini lantas menyampaikan argumentasi hukumnya. Ia menguraikan dasar hukum tentang pembangunan kesehatan yang termuat dalam UU Otsus Perubahan.
“Saya harus sampaikan kepada publik, bahwa perjuangan sebagai Ketua Tim Otsus DPD RI yang ikut menyusun UU Otsus, menghasilkan 2 pasal yang sangat penting untuk kesehatan, yaitu pertama, Pasal 34 ayat (3) huruf e angka 2 huruf b yang menyebutkan bahwa paling sedikit 20% dari penerimaan yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan sebesar 1,25% dari plafon Dana Alokasi Umum nasional yang totalnya 2,25% digunakan untuk belanja kesehatan. Otsus periode 1 hanya sebesar 2% saja dan itupun dibagi pendidikan dan kesehatan tanpa ada angka yang jelas. Kedua, Pasal 36 ayat (2) huruf b yang menegaskan bahwa 25% dari DBH Migas digunakan untuk belanja kesehatan dan perbaikan gizi. Otsus yang periode 1 hanya 15% saja. Jadi ada kenaikan signifikan di situ”, kata Filep.
“Sayang sekali, perjuangan itu tidak sepenuhnya diperhatikan di lapangan. Maka tidak heran kalau sebagai contoh saja, berdasarkan Data BPS 2022, Papua Barat termasuk 5 besar terbawah terkait jumlah dokter. Di tahun 2021 yang lalu, Data BPS menunjukkan hanya ada 10 Rumah Sakit di Papua Barat. Baik infrastuktur maupun tenaga kesehatan, yang paling mengenaskan ada di Kabupaten Manokwari Selatan dan Pegunungan Arfak. Per tahun 2021 kedua kabupaten ini tidak memiliki RS. Dari 381 orang Tenaga Medis di Papua Barat, hanya ada 7 orang di Manokwari Selatan dan 9 orang di Pegunungan Arfak,” sambungnya.
Ia menambahkan, kemudian tenaga farmasi di Pegunungan Arfak hanya 2 orang. Bahkan untuk Tenaga Psikologi Klinis, hanya ada 3 orang di Fakfak sementara di semua kabupaten lainnya sama sekali kosong. Secara keseluruhan provinsi, persebaran semua jenis tenaga kesehatan sesuai data BPS per 2021 adalah Tenaga Medis 381 orang, Tenaga Keperawatan 2172 orang, Tenaga Kebidanan 1145 orang, Tenaga Kefarmasian 222 orang, Psikologi Klinis 3 orang, Tenaga Kesehatan Masyarakat 199 orang, Tenaga Kesehatan Lingkungan 66 orang, Tenaga Gizi 153 orang, dan Tenaga Keterapian 17 orang.
Lebih lanjut, doktor Hukum lulusan Universitas Hasanuddin ini menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan juga seharusnya dimaksimalkan dari pemberian Dana Bagi Hasil (DBH) Minyak dan Gas Bumi (Migas).
“Contoh saja, DBH Migas untuk Provinsi Papua Barat pada 2023 sebesar Rp2.609.393.660 trilyun. Jika dihitung 25% dari DBH Migas, maka dananya kurang lebih Rp652.348.415 milyar di tingkat provinsi. Transfer DBH Migas ke kabupaten-kabupaten masing-masing kurang lebih sebesar Rp66.472.906 milyar. Maka pembiayaan kesehatan di tiap kabupaten sebesar 25% yaitu Rp16.618.226 milyar. Ini belum termasuk 1,25% dari plafo DAU nasional yaitu sebesar Rp59.074.493 milyar di tingkat provinsi, dan Rp36-Rp 51 milyar untuk tingkat kabupaten. Dana ini sangat besar sehingga jika di UGD dan RS tidak ada dokter ataupun dokter ahli, itu kan sangat mengherankan,” tegas Filep lagi.
Senator Papua Barat ini lantas menyinggung juga PP Nomor 106 Tahun 2021 terkait kewenangan pemerintah dalam bidang kesehatan.
“Inisiasi saya terhadap lahirnya PP Nomor 106 Tahun 2021 secara jelas mengindentifikasi kewenangan Pemprov dan Pemkab. Kewenangan itu ialah melakukan pemerataan jumlah fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dan Rumah Sakit, penguatan Tenaga Kesehatan, pelayanan kesehatan bergerak khususnya di daerah terpencil bagi OAP, pemberian beasiswa bagi Tenaga Kesehatan OAP, bantuan anggaran pendidikan bagi penyelenggaraan pendidikan Tenaga Kesehatan, pemberian afirmasi Tenaga Kesehatan OAP, jaminan kesejahteraan dan keamanan bagi Tenaga Kesehatan, pemberian stimulan bagi kader kesehatan kampung dari OAP, dan masih banyak lagi,”ujarnya.
“Untuk itulah saya sebagai wakil rakyat, meminta Kementeran Kesehatan (Kemenkes), pemprov, pemkab, supaya mengambil langkah konkret agar mengecek ketersediaan tenaga dokter dan dokter ahli yg sangat minim di Papua. Beban biaya yang besar seharusnya tidak menjadi masalah,” jelas Filep lagi
Filep meminta Kemenkes sesegera mungkin membentuk tim investigasi untuk melakukan eveluasi RS di tanah Papua, terkait pelayanan, tenaga ahli, fasilitas kesehatan, SDM. Menurutnya, apabila hal ini tidak dilakukan, maka akan menjadi bencana bagi penduduk di Papua dalam hal akses layanan kesehatan.
“Selain itu, pemprov dan pemkab bersama Kemenkes mempersiapkan tenaga kesehatan spesialis, misalnya jantung, penyakit dalam, syaraf dll. Berhentilah melakukan pembangunan fisik yang tidak penting di Papua, dan optimalkan pelayanan kesehatan dan pendidikan sesuai afirmasi Otsus. Sesuai PP 106, maka afirmasi putra-putri Papua supaya bisa menjadi dokter, atau juga untuk pendidikan dokter yang mau mengabdi di Papua tanpa meninggalkan Papua, menjadi hal mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi,” kata Filep.
Akhirnya Senator yang terpilih lagi pada Pemilu 2024 ini memberi pesan, agar dilakukan pengawasan terhadap pelayanan kesehatan di semua rumah sakit di Papua.
“Kita harus akui bahwa kita lemah di bagian pengawasan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya menyuarakan lagi agar pemprov dan pemkab meningkatkan pengawasan dan tata kelola yang berintegritas. Untuk para dokter dan pelayan kesehatan yang sudah dengan tulus mengabdi, pemerintah harus menjamin keamanan lingkungan kerja, memberikan hak-hak yang adil, menghargai juga hasil kerja mereka, agar pembangunan kesehatan di Papua menjadi optimal,” pungkas Filep.