Selasa, 26 November 2024
BerandaNasionalMenteri Bintang Ajak Lembaga Masyarakat Cegah Perkawinan Anak

Menteri Bintang Ajak Lembaga Masyarakat Cegah Perkawinan Anak

JAGAINDONESIA.COM, JAKARTA – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengungkapkan kasus perkawinan anak khususnya di tengah pandemi ini kian mengkhawatirkan. Belum lama ini masyarakat dihebohkan dengan viralnya kasus promosi perkawinan anak oleh salah satu Wedding Organizer (WO). Menindaklanjuti hal tersebut, Menteri Bintang mengajak seluruh pihak, khususnya lembaga masyarakat untuk bersinergi melakukan sosialisasi secara masif dan intervensi pencegahan perkawinan anak, difokuskan pada daerah dengan kasus perkawinan anak yang tinggi, sesuai dengan kondisi dan karakteristik daerah masing-masing.

“Mencegah dan menangani perkawinan anak merupakan tugas yang berat, namun jika dilakukan bersama, baik pemerintah, dunia usaha, media massa, dan masyarakat, khususnya dengan bantuan peran lembaga masyarakat, saya yakin persoalan seberat apapun dapat terselesaikan. Oleh karena itu, saya meminta lembaga masyarakat agar dapat bersinergi dalam melakukan berbagai upaya untuk mencegah agar jangan sampai terjadi perkawinan anak. Dengan begitu, tujuan kita untuk mencegah dan menurunkan perkawinan anak di Indonesia pun akan cepat terlaksana,” ungkap Menteri Bintang dalam acara Dialog dengan Lembaga Masyarakat Peduli Anak yang dilaksanakan secara virtual.

Menteri Bintang menegaskan perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak dan juga bentuk pelanggaran terhadap hak anak dan hak asasi manusia (HAM). “Anak yang dipaksa menikah atau karena kondisi tertentu harus menikah di bawah usia 18 tahun akan memiliki kerentanan lebih besar, baik dalam akses pendidikan, kualitas kesehatan, potensi mengalami tindak kekerasan, serta hidup dalam kemiskinan. Belum lagi besarnya dampak negatif perkawinan anak yang tidak hanya dialami oleh anak yang dinikahkan, namun juga pada anak yang dilahirkan, sehingga berpotensi memunculkan kemiskinan antar generasi,” tambah Menteri Bintang.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada 2019 diketahui terdapat 22 provinsi di Indonesia yang memiliki angka perkawinan anak lebih tinggi dari angka rata-rata nasional. Selain itu, pada 2018 dan 2019, diketahui terdapat 18 provinsi yang mengalami kenaikan angka perkawinan anak. Merespon hal ini, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah menetapkan isu pencegahan perkawinan anak sebagai 1 (satu) dari 5 (lima) agenda prioritas yang harus ditangani Kemen PPPA hingga 2024 mendatang. Pemerintah juga telah memasukkan isu pencegahan perkawinan anak ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang menargetkan penurunan angka perkawinan anak menjadi 8,74% pada akhir tahun 2024. 

Pemerintah juga telah merevisi Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1974 menjadi UU No. 16 Tahun 2019 yang menetapkan batas usia menikah bagi perempuan dan laki-laki menjadi 19 tahun. “Regulasi dan kebijakan sudah banyak dihasilkan, namun upaya sosialisasi secara masif agar sampai ke masyarakat ini yang harus kita lakukan bersama. Saya mengapresiasi dan menyampaikan terima kasih kepada teman-teman NGO (lembaga masyarakat) yang telah bergerak di tingkat grass root (akar rumput) dalam memberikan perlindungan bagi 80 juta anak Indonesia,” terang Menteri Bintang.

Pada awal 2020, Kemen PPPA bersama 17 Kementerian/Lembaga (K/L) bersama lebih dari 65 lembaga masyarakat peduli anak, dan pihak lainnya sebagai mitra pemerintah telah meluncurkan kembali Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (Geber PPA). “Melalui gerakan ini, kami secara terus menerus melakukan advokasi dan sosialisasi ke masyarakat, untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terkait dampak-dampak negatif dari perkawinan anak,” jelas Menteri Bintang.

Menteri Bintang menilai dialog besama lembaga masyarakat sangat penting untuk dilaksanakan. “Saya ingin mendengarkan langsung, apa saja peran, hambatan, serta masukan progesif yang pastinya akan sangat bermanfaat bagi Kemen PPPA. Hal ini dapat menjadi solusi ke depan, Kemen PPPA akan meresponnya melalui berbagai  bentuk kebijakan, program, atau kegiatan nyata agar lebih memberdayakan perempuan, melindungi anak, dan memenuhi hak-hak anak demi mewujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030, Generasi Emas 2045, serta Indonesia Maju, tanpa praktek perkawinan anak,” tutur Menteri Bintang.

Perwakilan Yayasan Fahmina Cirebon, Jawa Barat, KH. Husein Muhammad mengungkapkan pandangan keagamaan menjadi hal problematis dan sensitif dalam isu perkawinan anak. Kuatnya sistem sosial dan ideologi patriarki menjadi hal terkuat yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak di Indonesia. “Untuk itu, peran serta dan kerjasama seluruh komponen masyarakat terutama melalui lembaga negara terkait dan lembaga kultural (agama dan adat) sangat penting untuk dilakukan demi kondisi yang lebih baik kemaslahatan dan bangsa,” jelas KH. Husein.

KH. Husein juga menegaskan bahwa Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) telah memutuskan bahwa hukum mencegah perkawinan anak adalah wajib, karena pernikahan anak lebih banyak menimbulkan mudharat (bahaya, keburukan) dibandingkan manfaat untuk anak itu sendiri. Adapun pihak yang paling bertanggungjawab untuk mencegah perkawinan anak adalah orangtua, pemerintah, masyarakat. 

Pada acara ini, Deputi Program Dampak dan Kebijakan Yayasan Sayangi Tunas Cilik, Tata Sudrajat menjelaskan pentingnya pengasuhan yang layak bagi anak dengan tidak hanya menerapkan kasih sayang tapi juga kelekatan. Hal tersebut merupakan pondasi kuat yang harus anak dapatkan dalam 3 (tiga) tahun di awal perkembangannya. “Jika gagal mendapatkan pengasuhan yang layak, maka anak menjadi mudah insecure, hingga terjebak dalam persoalan perkawinan anak,” tegas Tata. 

Perwakilan Institut Kapal Perempuan, Misiyah mengungkapkan ada beberapa hambatan yang turut menjadi titik kritis, serta sering dijumpai teman-teman NGO dalam menangani kasus perkawinan anak. Di antaranya yaitu pandemi menjadi alasan pemicu terjadinya perkawinan anak; aparat turut menjadi pelaku, dimana aparat desa justru mendukung dan menghalangi tindak pencegahan perkawinan anak, bahkan dilakukan oleh pihak yang paham hukum. Untuk itu dibutuhkan pembekalan bagi pemimpin sekolah perempuan terkait instrumen hukum dalam memutus kasus perkawinan anak. 

“Untuk menangani persoalan perkawinan anak salah satunya di NTB, kami telah bersinergi dengan lembaga masyarakat lainnya melakukan penanganan terhadap 33 kasus perkawinan anak di 3 (tiga) desa Lombok Utara dan Lombok Timur melalui program ‘Perempuan Champions’. Hasil dari upaya penanganan tersebut, 17 kasus berhasil dibatalkan, sedangkan 16 gagal karena alasan adat dan dilegitimasi oleh tokoh setempat,” tutur Misi.

Dalam sesi penutup, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA, Lenny N. Rosalin menyampaikan apreasiasi kepada seluruh mitra pembangunan utamanya seluruh NGO yang selama ini telah, sedang dan akan terus bersama-sama dengan Kemen PPPA bersinergi bersama dalam upaya pencegahan perkawinan anak demi kepentingan terbaik bagi 80 juta anak Indonesia. (**)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terkini

- Advertisment -