PAPUA, JAGAINDONESIA.COM – Sebagai makhluk sosial, setiap orang terlibat interaksi sosial dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Dalam interaksi sosial itu, masing-masing orang dapat terlibat dalam hubungan yang saling menguntungkan atau bahkan sebaliknya.
Tak jarang, beragamnya karakter, kebutuhan hingga kepentingan masing-masing orang justru dapat menimbulkan percecokan, perselisihan hingga pertentangan dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal itulah kemudian yang mendorong terjadinya konflik sosial yang apabila tidak ditangani dengan arif dan bijaksana akan berujung pada perpecahan hingga terancamnya keamanan dan kedamaian masyarakat. Sedangkan kondisi keamanan masyarakat yang terancam tentu akan turut mengancam terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Soerjono Soekanto mendefinisikan bahwa konflik adalah suatu proses sosial ketika beberapa orang atau sekelompok manusia berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan atau kekerasan. Hal ini tentu harus dapat ditangani dengan baik termasuk oleh pemerintah daerah dan stakeholder terkait melalui intervensi kebijakan.
Berkaitan dengan hal itu, Provinsi Papua memiliki mekanisme dan ketentuan khusus untuk menangani terjadinya konflik sosial. Ketentuan itu termuat secara terperinci dalam Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Papua Nomor 8 tahun 2020 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Kehadiran Perdasi ini bertujuan untuk dijadikan sebagai pedoman dalam penanganan konflik sosial di Provinsi Papua dan penanganan yang tidak lagi mempertahankan perilaku yang tidak bermoral dan tidak beradat di Provinsi Papua.
Mengutip Pasal 3 Perdasi itu, Peraturan Daerah ini bertujuan untuk menjadi pedoman dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat agar tidak tumbuh berkembang sikap dan perilaku yang mengakibatkan terjadinya kekerasan antar orang atau antar kelompok masyarakat.
Terdapat tiga ruang lingkup dalam menangani konflik sosial yaitu meliputi: a. pencegahan konflik, b. penghentian konfik, dan c. penyelesaian konflik. Adapun langkah-langkah pencegahan konflik itu dijelaskan dalam Bagian Kesatu Pencegahan Konflik yang tertera pada Pasal 5 Perdasi.
- Setiap orang di Provinsi Papua berkewajiban saling menghargai dan menghormati terhadap sesama manusia.
- Pemerintah Daerah berkewajiban, bersama dengan Komnas HAM Perwakilan Papua, FKUB, Lembaga Keagamaan dan Dewan Adat mengadakan Dialog antar masyarakat di Provinsi Papua.
- Setiap orang atau kelompok di Provinsi Papua di larang dengan alasan apapun mengungkit kembali persoaalan yang sudah terjadi beberapa tahun yang lalu.
- Setiap orang di Provinsi Papua jika mengetahui atau menemukan masalah yang dapat berakibat akan terjadi kekerasan antar kampung atau suku, berkewajiban untuk melaporkan kepada Satuan Polisi Pamong Praja dan Kepolisian.
- Setiap orang di Provinsi Papua berkewajiban untuk melarang para pihak melakukan pembalasan secara fisik terhadap orang lain yang akan berdampak pada kekerasan fisik.
- Setiap orang di Provinsi Papua berkewajiban melaporkan peristiwa kekerasan antar masyarakat yang dilihat, didengar kepada Satuan Polisi Pamong Praja atau Kepolisian.
- Setiap orang di Provinsi Papua berkewajiban untuk membudayakan penyelesaian masalah melalui Musyawarah.
Selanjutnya, Pasal 6 Perdasi Penanganan Konflik Sosial berbunyi:
(1) Pemerintah Daerah berkewajiban meredam potensi Konflik dalam masyarakat dengan :
a. melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang memperhatikan aspirasi masyarakat:
b. bekerjasama dengan Komnas HAM Perwakilan Papua, Lembaga Keagamaan, Dewan Adat serta FKUB, mengintensifkan dialog antar kelompok masyarakat,
c. meminta POLRI untuk Menegakkan hukum tanpa diskriminasi, dan
d. menyelenggarakan musyawarah dengan kelompok masyarakat untuk membangun kemitraan dengan pelaku usaha di daerah setempat.
(2) Setiap orang di Provinsi Papua dilarang untuk dengan alasan apapun mengeluarkan orang dari dalam sel atau meminta kepolisian untuk mengeluarkan orang yang terbukti melakukan tindak pidana dan ditahan Oleh pihak kepolisian di dalam tahanan kepolisian.
Kemudian, langkah-langkah penghentian konflik sosial di Papua dapat dilakukan dengan cara penghentian kekerasan fisik, penetapan status keadaan konflik, tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban, dan bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI.
Sementara itu, langkah-langkah penyelesaian konflik diatur dalam Pasal 8 yang berbunyi “8
Penyelesaian konflik dilakukan oleh pemerintah daerah, kepolisian dan dewan adat.” Penyelesaian konflik oleh pihak-pihak tersebut kemudian diatur secara lebih jelas pada Pasal 9 Perdasi:
(1) Penyelesaian konilik oleh pemerintah daerah dilakukan dialog dengan mendengarkan
aspirasi masyarakat dan memprogramkan pembangunan sesuai dengan aspirasi masyarakat.
2) Penyelesaian konfik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berkoordinasi dengan Polri.
Pasal 10
(1) Penyelesaian konflik dapat dilakukan juga dengan cara perdamaian.
2) Penyelesaian konflik dengan cara perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui peradilan adat.
(3) Peradilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin oleh hakim adat.
(4) Peradilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kewenangan penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di kampung adat.
(5) Dalam hal penyelesaian konflik melalui peradilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian dilakukan oleh peradilan umum.
Pasal 11
(1) Setiap orang dilarang melakukan kekerasan terhadap orang lain dengan dalil apapun.
2) Setiap orang di Provinsi Papua dilarang untuk memberikan pembelaan terhadap orang yang terbukti melakukan tindak pidana terhadap orang lain seperti, membunuh, memukul hingga cedera.
(3) Setiap orang di Provinsi Papua, baik pejabat maupun masyarakat dilarang untuk memberikan sejumlah uang yang berlebihan, untuk membantu denda kepada pelaku yang jelas-jelas membuat kesalahan.
Lebih lanjut, Pasal 12 ayat (1) menyebutkan bahwa “Masalah yang terjadi disuatu daerah diselesaikan baik pemeriksaan dan pengambilan keputusan dan penyelesaian keputusannya di Tempat Kejadian Perkara tersebut (2) Masalah yang terjadi diluar sebuah Kabupaten tidak dapat dilakukan pemeriksaan dan pengambilan keputusan dan penyelesaian keputusannya di Kabupaten lainnya.
Dalam hal itu, Pasal 13 Perdasi mengatur bahwa “Setiap orang dilarang membawa benda tajam dan/atau benda tumpul dengan maksud untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain.”
Selain itu, guna menangani konflik sosial tersebut, dibentuklah Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial. Hal itu tercantum dalam Pasal 14 Perdasi Penanganan Konflik Sosial yang menyebutkan:
(1) Penanganan Konflik Sosial dilakukan oleh Tim Terpadu Penanganan Sosial Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota.
2) Tim Terpadu Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas : Asisten I Setda Provinsi Papua, Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Papua, Dinas Sosial Provinsi Papua: Kepolisian, Pimpinan Lembaga Keagamaan, FKUB, Pimpinan Dewan Adat, dan Komnas HAM.
(3) Tim Terpadu Penanganan Konilik Sosial di Provinsi Papua berkedudukan di Ibukota Provinsi Papua. Pembentukan, susunan dan tugas pokok serta fungsi Tim Penanganan Konflik Sosial di Provinsi Papua diatur dengan Peraturan Gubernur.
Tim Terpadu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Asisten I Setda Kabupaten/Kota,
b. Kepala Badan Kesbangpol Kabupaten/Kota,
c. Dinas Sosial Kabupaten/Kota
d. Kepolisian
e. Pimpinan Lembaga Keagamaan
f. FKUB dan & Pimpinan Dewan Adat.
Adapun Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial di Kabupaten/Kota berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota. Sedangkan pembentukan, susunan dan tugas pokok serta fungsi Tim Penanganan Konflik Sosial di Kabupaten/Kota diatur dengan Keputusan Bupati/Walikota. (UWR)