Keluarga korban Semanggi bersama dengan Koalisi Untuk Keadilan Semanggi I dan II menyatakan kekecewaannya atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang menyatakan gugatan Para Terbanding/Para Penggugat tidak dapat diterima karena dianggap tidak melalui upaya Banding Administratif terlebih dahulu. Karena itu, Koalisi Untuk Keadilan Semanggi I dan II menganggap bahwa putusan tersebut merupakan langkah mundur dari keadilan yang sempat diberikan PTUN Jakarta.
Berikut uraian Koalisi Keadilan Semanggi I dan II sebagaimana ditulis dalam pres releasenya pada 10 Maret 2021;
Sebelumnya pada 9 November 2020, Jaksa Agung mengajukan upaya hukum banding setelah Majelis Hakim PTUN Jakarta menyatakan bahwa Tindakan Jaksa Agung dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI pada tanggal 16 Januari 2020 yang menyampaikan:
“Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM” adalah perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Terhadap putusan penolakan gugatan oleh PTTUN Jakarta ini kami berpendapat :
- Prosedur upaya Banding Administratif telah dilakukan oleh Para Penggugat/Para Terbanding
Dalam putusan banding, PTTUN menyatakan bahwa Para Penggugat/Para Terbanding tidak melakukan Banding Administratif karena surat-surat yang dikirimkan Para Penggugat tidak bersifat khusus sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai banding, melebihi jangka waktu 10 hari, dan bahwa Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) tidak diberi kuasa untuk mengajukan banding.
Padahal sesungguhnya, keluarga korban sebagai Para Penggugat/Para Terbanding telah terus-menerus mengajukan Banding Administratif dalam Surat-surat Kamisan sejak tanggal 5 Maret 2020, 12 Maret 2020, 26 Maret 2020 dan 16 April 2020 sehingga tidak melebihi tenggang waktu 10 hari yang dimaksud Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UU AP).
Selain itu surat-surat tersebut juga dikirimkan langsung oleh Ibu Sumarsih, keluarga korban Semanggi I, sebagai salah satu Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) yang juga terus menyuarakan hal yang sama dari surat-suratnya sehingga tidak memerlukan surat kuasa tersendiri untuk mengajukan keberatannya atas tindakan dan jawaban Jaksa Agung terkait penanganan kasus Semanggi I.
Selain itu, tidak ada satu perundangan pun yang menjelaskan apakah Banding Administratif harus spesifik dalam satu keberatan atau bersamaan dengan keberatan masalah yang lain dalam konteks yang sama yakni pelanggaran HAM, sehingga Surat-surat Kamisan yang dikirimkan Ibu Sumarsih harusnya sah sebagai surat Banding Administratif
- PTTUN gagal melihat dan memberi keadilan substantif bagi keluarga korban dengan hanya mementingkan prosedur formil
Kami melihat Majelis Hakim PTUN lebih maju dalam memberi keadilan substantif dibandingkan pengadilan setingkat diatasnya, karena PTUN tidak hanya memperhatikan prosedur formil semata.
Selain itu, SEMA No. 1/2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan tidak pernah dicabut meskipun muncul Perma No. 6/2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif.
Jika diselaraskan dengan peraturan yang lebih tinggi yakni UU AP, kami memaknai dua peraturan di tingkat peradilan tersebut bahwasanya upaya administratif memang merupakan hal penting dan bahwa sesuai Poin 3 huruf d SEMA 1/2017 : Upaya administratif dalam bentuk keberatan/banding sesuai ketentuan Pasal 75 ayat (1) UU AP adalah berbentuk pilihan hukum, karena UU AP memakai terminologi kata “DAPAT”.
Selanjutnya dalam surat edaran ini dinyatakan bahwa: “Mendasarkan pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, MA bersepakat menyatakan bahwa adalah lebih tepat dan adil apabila hakim PERATUN lebih mengutamakan Keadilan substantif lebih penting dibandingkan keadilan formal.” Apalagi dalam perkara ini sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Para Penggugat telah mengajukan Upaya Administratif baik Keberatan maupun Banding Administratif. Oleh karena itu, kami menilai gugatan yang kami ajukan tidak prematur.
Di samping itu, jika hanya berpatokan kepada prosedur formil semata, setelah Para Penggugat mengirimkan Keberatan Administratif pada 13 Februari 2020, berdasarkan Pasal 77 ayat (1) UU AP, Jaksa Agung mempunyai waktu 10 hari kerja untuk menanggapi surat tersebut terhitung dari tanggal 14 Februari 2020 hingga 24 Februari 2020, namun nyatanya surat jawaban dari Jaksa Agung diterima oleh Para Penggugat pada tanggal 28 Februari 2020.
Namun pada pengadilan tingkat pertama, kami mengerti bahwa Majelis Hakim PTUN berupaya mencari keadilan substantif dibandingkan formil. Sayangnya PTTUN tidak memiliki semangat dan progresivitas yang sama.
Berdasarkan hal di atas, kami hendak kembali mengingatkan publik bahwa upaya gugatan ini diajukan untuk menolak segala perbuatan ataupun pernyataan yang dapat melanggengkan impunitas. Kami mendesak agar:
- Jaksa Agung untuk mengaktifkan Satgas Penuntasan Pelanggaran HAM berat dan meneruskan berkas perkara Peristiwa Semanggi I dan II ke tahap penyidikan;
- Presiden untuk menepati janji untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu;
- Presiden untuk memastikan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu.