MANOKWARI, JAGAINDONESIA.COM – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua Barat menyelenggarakan Seminar Hukum dalam rangka Hari Bhakti Adhyaksa ke-62 di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Manokwari, Senin (18/7/2022). Seminar kali ini mengusung tema ‘Diskresi Penuntutan Melalui Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)’.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Papua Barat, Juniman Hutagaol, SH., MH secara resmi membuka kegiatan ini dan didampingi langsung oleh Wakajati Papua Barat, Witono, SH., M.Hum, serta Ketua STIH Manokwari, Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum., C.L.A.
Dalam sambutannya, Juniman mengatakan, kegiatan seminar hukum yang diikuti oleh mahasiswa dan dosen STIH ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan yang dilaksanakan untuk memperingati Hari Bhakti Adhyaksa ke-62. Adapun peringatan Hari Bhakti Adhiyaksa ini jatuh tepat pada tanggal 22 Juli 2022.
Dalam kesempatan ini, Juniman menjelaskan bahwa restorative justice (RJ) merupakan sebuah budaya hukum yang mengakibatkan pergeseran instrumen Pidana, sehingga bukan lagi sebagai bukti hukum primum remedium.
Menurutnya, asas yang merupakan kebalikan dari ultimum remedium yakni hukum pidana diberlakukan sebagai pilihan utama. Tujuan penerapan RJ ini adalah sebagai kunci utama dalam penyelesaian pidana di luar Peradilan.
“Misalnya seolah-olah persoalan masyarakat, termasuk perselisihan di dalam keluarga, kerabat dalam lingkungan dapat diselesaikan melalui hukum Pidana. Padahal dalam konsep RJ ini yang harus digarisbawahi bahwa tujuan Pidana adalah memulihkan keadaan, kehadiran RJ ini sebagai pendekatan untuk menyelesaikan tindak Pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku dan pihak lain seperti tokoh masyarakat, dan lain sebagainya dalam menyelesaikan masalah kembali ke keadaan semula,” jelas Juniman.
Menurut Juniman, RJ bukanlah solusi melakukan pembalasan kejahatan, melainkan upaya menyelesaikan masalah di luar jalur peradilan sekaligus sebagai sarana penyelesaian perkara antara pelaku dan korban.
Lebih lanjut, ia menuturkan, beberapa syarat mendapat RJ adalah belum pernah dihukum, ancaman hukuman kurang dari lima tahun, dan denda tidak lebih dari 2,5 juta serta sebagai syarat utama adalah perdamaian kedua belah pihak.
Lebih lanjut, Juniman mengemukakan bahwa RJ merupakan upaya memberikan penjelasan sehingga pelaku wajib mengakui kesalahan dan sebaliknya korban wajib memberi permohoan maaf kepada pelaku. Akan tetapi, harus juga ada pertanggungjawaban untuk kedamaian bersama. Ia mengatakan, pelaksanaan RJ bertujuan menciptakan keadaan hukum yang hakiki dan memanusiakan manusia di depan hukum.
Kajati menekankan, RJ juga tidak hanya melihat hukum tajam ke bawah, namun setiap orang termasuk pihak Kejaksaan berhak menggunakan hati nuraninya karena hati nurani bukan lagi tujuan hukum melainkan instrumen merangkul agar tujuan hukum dapat dicapai.
“Semakin tinggi hati nurani, maka semakin tinggi nilai hukum yang hakiki yang berpijak dan mencapai dalam hati nurani itu sendiri” jelas Juniman.
Kegiatan dilanjutkan dengan pemaparan materi dan tanya jawab bersama dua pemateri yakni dari Kejati Papua Barat dan Dosen STIH Manokwari. Diskusi tersebut berjalan menarik diwarnai antusiasme mahasiswa yang menyampaikan beragam pertanyaan. (WRP)