JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Pembentukan tim penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu oleh Presiden Joko Widodo menuai reaksi keras dari sejumlah pihak terutama dari kalangan aktivis. Diantaranya adalah Koalisi Masyarakat Sipil yang meminta Presiden membatalkan Keppres penyelesaian kasus HAM melalui jalur di luar pengadilan tersebut.
“(Adanya tim itu) dijadikan jalan pintas untuk seolah dianggap menuntaskan pelanggaran HAM berat,” kata Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil melalui keterangan tertulis, Kamis (18/8/2022).
Sebaliknya, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak presiden memerintahkan Jaksa Agung agar segera menindaklanjuti hasil penyelidikan pelanggaran HAM masa lalu dari Komnas HAM. Selain itu, koalisi juga meminta DPR segera merekomendasikan dan atau mengusulkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc atas peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Lebih lanjut, Julius meminta pemerintah bersama DPR segera membahas Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) yang belum terealisasi hingga saat ini.
“Pemerintah dan DPR RI membasah RUU KKR dan membuka seluas-luasnya partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation) khususnya penyintas dan keluarga korban Pelanggaran HAM berat sesuai dengan mandat putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Perkara No.006/PUU-IV/2006,” katanya.
Hal yang sama diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar. Ia menilai pembentukan tim itu tidak dapat memberikan keadilan karena tidak ada proses akuntabilitas hukum lewat pengadilan.
“Dari draf Keppres yang beredar, tim ini sepertinya ingin melakukan bypass penyelesaian kasus ham semata-mata dengan santunan bagi korban. Padahal, jika tidak ada pengungkapan, ada potensi pengulangan kasus HAM,” ujar Wahyudi dikutip dari BenarNews.
Sementara itu, anggota Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara mengatakan tim non-yudisial tersebut dibentuk untuk pengungkapan kebenaran, rekonsiliasi dan kompensasi.
“Saya kira, keraguan para aktivis beralasan. Tinggal negara membuktikan dengan langkah-langkah nyata termasuk memaksimalkan mekanisme yudisial yang tersedia,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menyampaikan telah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Hal ini disampaikannya dalam pidatonya di sidang tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/8/2022).
“Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu telah saya tanda tangani,” ujar Jokowi.
Jokowi mengatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu terus menjadi perhatian serius pemerintah dan mengungkapkan bahwa RUU komisi kebenaran dan rekonsiliasi sedang dalam proses pembahasan.
“Tindak lanjut atas temuan Komnas HAM masih terus berjalan,” ujarnya.
Presiden menunjuk Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mohammad Mahfud MD menjadi ketua pengarah tim dan Makarim Wibisono sebagai ketua pelaksananya. Adapun Makarim merupakan seorang diplomat yang pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk PBB.
“Jalur yudisial kan terus jalan. Jadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu harus ditempuh dengan dua jalan secara paralel, yaitu melalui yudisial dan melalui non-yudisial,” kata Mahfud. (UWR)