JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Senator Papua Barat Filep Wamafma menyampaikan sejumlah catatan penting terkait kondisi kemiskinan di Papua dan Papua Barat. Filep menyoroti predikat miskin yang selalu melekat pada kedua provinsi di wilayah paling timur Indonesia itu. Kali ini, ia memberikan sudut pandang yang berbeda terkait label kemiskinan ini.
Menurut Filep, label provinsi termiskin itu merujuk pada persentase kemiskinan berdasarkan data BPS pada Maret 2022, yang menyebutkan Provinsi Papua dan Papua Barat menduduki peringkat teratas persentase kemiskinan di Indonesia. Dalam data itu, jumlah penduduk miskin Papua ialah 922,12 ribu orang (26,56% dari total penduduk), dan jumlah penduduk miskin Papua Barat adalah 218,78 ribu orang (21,33% dari total penduduk).
“Akan tetapi, jika kita melihat jumlah penduduk miskin terbanyak bukanlah dari Papua dan Papua Barat, melainkan dari Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Hal ini juga berdasarkan data BPS pada Maret 2022. Maka secara nasional, keempat provinsi itu yang menyumbang jumlah penduduk miskin terbesar. Ini juga perlu di-clear-kan,” ujar Filep, Kamis (29/9/2022).
Merujuk pada data dari BPS 2022, menunjukkan bahwa pada Maret 2022, jumlah penduduk miskin terbanyak ialah Provinsi Jawa Timur yaitu sebanyak 4.181, 29 ribu orang, disusul Jawa Barat sebanyak 4.070,98 ribu orang, Jawa Tengah 3.831,44 ribu orang dan Sumatera Utara sebanyak 1.268,19 ribu orang.
“Papua dan Papua Barat selalu ditempatkan sebagai yang termiskin, karena persentasenya dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang sedikit. Pada titik ini, perlu dipikirkan kembali berbagai indikator untuk penyebutan daerah/provinsi termiskin. Jika indikator miskin BPS menggunakan juga data aset, misalnya aset tanah yang bisa menjadi uang atau penghasilan tertentu, maka bisa jadi Papua dan Papua Barat tidak dapat dikategorikan miskin. Jutaan tanah di Papua dan Papua Barat merupakan milik masyarakat adat yang sangat bernilai harganya,” kata Filep.
Lebih lanjut, Wakil Ketua Komite I DPD RI ini menuturkan, persoalan kemiskinan belakangan disoroti terjadi lantaran dugaan adanya praktik-praktik penyalahgunaan anggaran di daerah. Persoalan ini menjadi semakin sensitif saat Gubernur Papua Lukas Enembe ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Filep memandang, jika dikaitkan dengan dugaan korupsi yang dilakukan Lukas Enembe, perdebatan dapat saja dimulai dari tanggungjawab politik dan tanggungjawab anggaran. Menurutnya, penanganan kasus dugaan penyalahgunaan anggaran juga perlu diusut secara struktural terhadap pihak-pihak terkait lainnya berdasarkan pada kewenangannya.
“Gubernur merupakan penanggungjawab politik, sementara di bawahnya terdapat pejabat pengguna anggaran misalnya sekretaris daerah, bagian keuangan, para perangkat daerah. Rangkaian pengambilan kebijakan inilah yang sebenarnya menjadi fokus dari penegak hukum. Penyalahgunaan anggaran sering kali berkaitan dengan konflik kepentingan dari para pengguna anggaran. Oleh sebab itu, jika mau dibuka secara transparan, maka harus dibuka semuanya secara struktural,” jelas doktor hukum alumnus Unhas ini.
Selain itu, Filep juga menyoroti penanganan kasus korupsi oleh Polda Papua. Ia menerangkan, berdasarkan data pada bulan Januari-Agustus 2014, Polda Papua telah menangani 118 kasus korupsi dan di tahun 2015, terdapat penurunan penanganan kasus korupsi. Selanjutnya, pada 2019, dalam enam bulan pertama, terdapat 73 kasus korupsi yang ditangani dan sepanjang 2021, terdapat 79 kasus korupsi yang ditangani. Akan tetapi, baru 20 kasus yang dilimpahkan ke kejaksaan.
“Problemnya ialah, sejauh mana semua perkara tersebut dituntaskan secara transparan dan akuntabel? Maka menjadi beralasan jika publik juga mempertanyakan kemampuan Polda dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi di daerah,” ungkapnya.
Sementara itu, Filep juga memperhatikan adanya keterkaitan antara kemiskinan dengan penggunaan dana Otsus. Sampai dengan tahun 2022, Papua dan Papua Barat telah memperoleh transfer Dana Otonomi Khusus (DOK), Dana Tambahan Infrastruktur (DTI), dan Dana Bagi Hasil (DBH) Minyak Bumi dan Gas Bumi sebesar Rp154,91 triliun dalam rangka melaksanakan Otsus di Tanah Papua.
Menurutnya, jika dihitung secara sederhana, maka anak SD di Papua dan Papua Barat yang mulai sekolah di tahun 2002, dengan besaran dana Otsus Rp1,382,300,000,000, diperkirakan sudah banyak yang berhasil menyelesaikan studinya, baik di level sarjana maupun pascasarjana. Tentu hal ini juga akan berpengaruh pada IPM Papua dan Papua Barat lantaran tingkat pendidikan juga berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat Papua.
Akan tetapi, lanjut Filep, fakta berbicara lain. Data BPS menyebutkan hanya 80.427 orang jumlah mahasiswa sarjana dari Papua pada tahun 2019 dari jumlah penduduk sebanyak 3.322.526 orang.
“Jadi, kemana semua anggaran pendidikan yang sangat besar dari dana Otsus? Untuk itu perlu diperiksa juga, apakah dana Otsus digunakan oleh instansi-instansi tertentu di luar yang dimaksudkan Otsus, atau seperti apa bentuk dugaan penyalahgunaan anggarannya?” kata Filep.
“Fungsi auditor sebenarnya ada juga di daerah, misalnya melalui inspektorat dan BPKP. Demikian juga hasil audit BPK, inspektorat, BPKP, seharusnya dapat digunakan sebagai referensi hukum bagi penegak hukum di daerah untuk menyelesaikan persoalan korupsi di daerah,” sambungnya.
Oleh sebab itu, Filep berharap ada evaluasi secara menyeluruh terkait penggunaan dana Otonomi Khusus yang saat ini semakin menjadi sorotan publik. Ia mengharapkan, selain penggunaan dana otsus, amanat UU Otsus secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua juga dapat dijalankan secara tepat sasaran.