JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma mencermati wajah pendidikan di Indonesia yang masih memerlukan kepastian keberpihakan kebijakan. Ia mengungkap sederet data dan fakta persoalan pendidikan diantaranya terkait anak tidak sekolah, angka putus sekolah hingga kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup memprihatinkan.
“Tentu kita tidak bisa menutup mata atas fakta kondisi pendidikan kita saat ini. Pendidikan adalah kebutuhan fundamental manusia, dan merupakan proses berkelanjutan. Melalui pendidikan, setiap individu dapat mengembangkan diri dan berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat. Namun saat ini, masih banyak anak Indonesia tidak sekolah, terpaksa putus sekolah, dan lagi akses pendidikan juga belum sepenuhnya merata,” ujar Filep dalam keterangan yang diterima awak media, Kamis (17/10/2024).
Sebagaimana diketahui, data Badan Pusat Statistik (BPS) per 26 Mei 2024 yang menunjukkan angka tidak sekolah di tahun 2023, masing-masing SD/Sederajat sebesar 0,67, SMP/Sederajat 6,93, dan SMA/Sederajat 21,61. Selain itu, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada Maret 2023 mengungkapkan bahwa angka putus sekolah di jenjang SD/sederajat mencapai 0,11%, sedangkan di SMP/sederajat dan SMA/sederajat masing-masing sebesar 0,98% dan 1,03%.
Anak laki-laki memiliki angka putus sekolah yang lebih tinggi dibandingkan anak perempuan, terutama di SMP/sederajat (1,35% untuk laki-laki dan 0,59% untuk perempuan) dan SMA/sederajat (1,25% untuk laki-laki dan 0,81% untuk perempuan). Kemudian juga terdapat kesenjangan antara pendidikan di perkotaan dan perdesaan, dengan angka putus sekolah di perdesaan lebih tinggi, yaitu 0,19% untuk SD/sederajat, 1,25% untuk SMP/sederajat, dan 0,94% untuk SM/sederajat, dibandingkan dengan 0,05%, 0,78%, dan 1,17% di perkotaan.
“Kondisi ini menunjukkan perlunya perhatian lebih untuk mengidentifikasi dan mengatasi faktor-faktor yang menghambat anak-anak dalam melanjutkan pendidikan, agar setiap warga negara dapat memanfaatkan hak atas pendidikan secara optimal sebagaimana amanat konstitusi,” ujar Filep.
Lebih lanjut, senator Filep yang kini menjabat sebagai Ketua Komite III DPD RI itu mengungkapkan kondisi pendidikan memiliki keterkaitan kuat dengan latar belakang ekonomi masyarakat.
“Menurut data BPS per Maret 2024, ada sekitar 9,03% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah penduduk miskin sebesar 25,22 juta orang, Persentase penduduk miskin perkotaan sebesar 7,09% dan persentase penduduk miskin perdesaan sebesar 11,79%. Hal ini berdampak pada akses pendidikan yang tidak merata terutama bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu sering kali menghadapi berbagai hambatan dalam mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Ini fakta kondisi masyarakat yang masih kite temui di daerah, di tengah masyarakat,” jelasnya.
Menurutnya, kendala yang dihadapi oleh sistem pendidikan di Indonesia tidak dapat diatasi hanya dengan mengandalkan APBN. Keterbatasan anggaran seringkali menjadi penghambat dalam memenuhi kebutuhan pendidikan yang semakin kompleks. Oleh karena itu, dia menilai perlu adanya dukungan biaya dari pihak luar, baik dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun sektor swasta.
“Keterlibatan BUMN dan sektor swasta dalam pendidikan menjadi hal yang krusial untuk memastikan bahwa setiap anak atau individu memiliki akses yang memadai untuk mendapatkan pendidikan berkualitas,” urainya.
Senator sekaligus akademisi itu lantas menekankan muatan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 111 Tahun 2021 tentang Dana Abadi di Bidang Pendidikan. Ia menerangkan, Dana Abadi di Bidang Pendidikan berfungsi untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi berikutnya, dengan ketentuan bahwa dana ini tidak dapat digunakan untuk belanja. Sumber Dana Abadi ini dapat berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, pendapatan investasi, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat, termasuk hibah dan kerjasama dengan pihak lain.
“Nah, pendapatan investasi yang dihasilkan dari Dana Abadi diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan melalui berbagai program dan kegiatan yang berkelanjutan. Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kolaborasi dengan BUMN dan sektor swasta untuk mengembangkan program pendidikan yang lebih inovatif dan berkelanjutan dengan adanya Dana Abadi. Keterlibatan BUMN dan sektor swasta dalam memanfaatkan Dana Abadi ini dapat membantu memperkuat infrastruktur pendidikan dan menyediakan fasilitas yang lebih baik,” sebutnya.
“Dengan dukungan yang tepat, investasi dari BUMN dan sektor swasta dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan memastikan akses yang lebih baik bagi peserta didik. Oleh karena itu, alokasi sumber pendanaan yang jelas dan transparan akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan pendidikan yang ada serta berkontribusi pada pengurangan beban biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah,” urai Filep.
Ia mencatat, kontribusi BUMN dan sektor swasta juga menciptakan keberhasilan dan kegagalan dalam pendidikan di Indonesia. Penyebab utama kegagalan dalam investasi pendidikan dapat ditelusuri pada kurangnya regulasi yang jelas mengenai peran BUMN dan swasta dalam pendidikan. Saat ini, belum terdapat peraturan yang secara spesifik mengatur investasi pendidikan oleh BUMN dan swasta. Meskipun terdapat Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pendanaan Pendidikan, tetapi peraturan tersebut masih bersifat umum dan tidak memberikan panduan yang jelas tentang kontribusi sektor swasta dalam pendidikan.
Dalam konteks tersebut, dia menegaskan, pentingnya memahami bahwa regulasi mengenai pendanaan pendidikan tidak hanya mencakup tanggung jawab pemerintah, tetapi juga membuka peluang bagi BUMN dan sektor swasta untuk berperan aktif. Keterlibatan kedua pihak dalam pendanaan pendidikan dapat memperkuat sistem pendidikan nasional dan menjawab tantangan yang ada.
“Hal yang sangat penting, diperlukan pengembangan regulasi baru yang menekankan pentingnya investasi pendidikan oleh BUMN dan sektor swasta. Regulasi ini tidak hanya mencakup insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam pendidikan, tetapi juga mengatur tanggung jawab dan konsekuensi yang harus dihadapi jika output dari kerjasama tersebut tidak tercapai,” ungkap Filep lagi.
Dia menekankan, dengan adanya regulasi yang komprehensif, diharapkan akan tercipta kolaborasi yang lebih baik antara pemerintah, BUMN, dan sektor swasta. Regulasi ini perlu mengatur berbagai bentuk investasi yang dapat dilakukan oleh BUMN dan swasta, seperti penyediaan beasiswa, pengembangan infrastruktur pendidikan, dan program pelatihan.
“Selain itu, penegakan konsekuensi tertentu akan mendorong komitmen perusahaan untuk memenuhi target-target yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kolaborasi ini dapat berkontribusi secara langsung terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia,” tutupnya.