JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Sidang perdana kasus pencemaran nama baik Luhut Bijsar Pandjaitan dengan terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti telah terlaksana di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Senin (3/4/2023). Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaan atas kasus tersebut buntut percakapan Haris-Fatia yang diantaranya menyinggung Luhut bermain tambang di Papua.
Percakapan yang dimaksud berupa sebuah video dalam akun YouTube Haris yang berjudul “Ada Lord Luhut Dibalik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jendral Bin Juga Ada!! NgeHAMtam”. JPU menyampaikan, video itu membahas hasil kajian cepat yang dilakukan Koalisi Bersihkan Indonesia mengenai praktik bisnis tambang di Blok Wabu, Intan Jaya dan situasi kemanusiaan serta pelanggaran HAM.
“Termasuk adanya benturan kepentingan sejumlah pejabat publik dalam praktik bisnis di Blok Wabu yang berjudul ‘Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya’,” ungkap JPU dalam sidang tersebut.
Kajian cepat yang dimaksud disebut pihak Haris-Fatia merupakan penelitian tentang bisnis militer di Blok Wabu yang dilakukan oleh 9 lembaga yakni YLBHI, WALHI, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace, Trend Asia, dan #BersihkanIndonesia.
Dalam surat dakwaannya, JPU menyebutkan, Luhut Binsar Pandjaitan emosi dan menggelengkan kepala saat dituduh “bermain” di tambang Kabupaten Intan Jaya, Papua. Emosi Luhut terlihat saat rekaman video itu diputar oleh Asisten Bidang Media Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Singgih Widiyastono yang bersama Luhut menyaksikan di ruang kerjanya di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pada Senin (23/8/2021).
“Luhut terlihat geleng-geleng kepala, nampak emosi, dan menyampaikan kepada Singgih, ‘Ini keterlaluan. Kata-kata “Luhut bermain tambang di Papua” itu tendensius, tidak benar, dan sangat menyakitkan hati saya’,” ungkap JPU.
JPU menuturkan, awalnya, Singgih Widiyastono, mengetahui adanya percakapan antara Haris dan Fatia dalam video itu dan segera menghubungi Staf Media Internal Menkomarves, yakni Adhi Danar Kusumo pada 20 Agustus 2021. Adhi lalu diminta mencermati dan menganalisis informasi dalam video itu.
Pada 22 Agustus 2021, Adhi menelepon Singgih dam menyampaikan, ada pernyataan dari Fatia soal Luhut yang “bermain” di tambang Intan Jaya. Dalam video itu, Fatia disebut mengatakan, “Jadi Luhut bisa dibilang bermain di dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini. Akhirnya Singgih dan Adhi memutuskan untuk melaporkan video itu kepada Luhut.
JPU melanjutkan, Luhut merasa nama baik dan kehormatannya diserang. Dirinya menegaskan pernyataan kedua pegiat HAM itu sudah semestinya dapat dipertanggungjawabkan.
“Luhut mengatakan, ‘Di negeri ini tidak ada kebebasan berpendapat yang absolut. Semua harus dapat dipertanggungjawabkan’,” pungkas JPU.
Menurut Jaksa, pihak Luhut sempat melayangkan somasi kepada Haris-Fatia untuk memberikan untuk meminta maaf. Melalui tim kuasa hukumnya, Luhut mengirimkan dua kali somasi. Namun somasi tersebut tidak dipenuhi oleh Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dengan sejumlah alasan.
“Karena tidak sejalan dengan kedua somasi yang pernah diberikan, karena tidak adanya pemintaan maaf dari Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, maka Luhut melaporkan ke SPKT Polda Metro Jaya pada tanggal 22 September 2021,” ujar jaksa.
“Dimana perkataan Fatia Maulidiyanti bukanlah merupakan pernyataan akurat yang diperoleh dari hasil kajian cepat karena dilakukan dengan itikad buruk untuk menyerang nama baik dan kehormatan salah seorang jenderal atau purnawirawan yaitu, Luhut Binsar Pandjaitan yang dinyatakan oleh sebagai seorang penjahat,” ujar jaksa.
Perbuatan Haris dan Fatia disebut sebagai tindakan pidana yang diancam dalam Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Kemudian Pasal 14 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana. Lalu Pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana. Selanjutnya Pasal 310 ayat 1 KUHPidana juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Sementara itu, pihak kuasa hukum Haris-Fatia menyebut keduanya merupakan korban kriminalisasi UU ITE oleh seorang pejabat publik. Mengutip laman resmi KontraS, (3/4/2023), Tim kuasa hukum Fatia-Haris mengatakan bahwa kriminalisasi terhadap keduanya menunjukkan bahwa Luhut sebagai pejabat publik, alih-alih membuka data kepada publik, justru bersikap anti kritik dan menutup informasi.
“Aktivitas yang dilakukan oleh Fatia dan Haris merupakan ekspresi seorang warga negara yang sifatnya sah dan konstitusional sehingga tidak dapat dikenakan tindak pindana, terlebih sampai pada proses di pengadilan,” ungkap tim kuasa huku,, dikutip Jumat (7/4/2023).
“Digunakannya konstruksi Pasal dalam UU ITE dalam surat dakwaan, khususnya pasal yang berkaitan dengan delik pencemaran nama baik memang terlihat sekali sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat. Terlebih pasal lainnya yang dijeratkan kepada Fatia dan Haris adalah penyebaran berita bohong yang mana seringkali digunakan oleh aparat penegak hukum dalam membungkam kritik publik,” sambungnya.
Selain itu, penggunaan pasal UU ITE terhadap Fatia dan Haris menunjukan lemahnya komitmen pemerintah dalam mengimplementasi SKB Pedoman Implementasi UU ITE. Dalam dokumen tersebut disebutkan pada poin 3 huruf c bahwa Pasal 27 ayat (3) tidak dapat dikenakan pada bentuk penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan. Sayangnya, pendapat yang berbasis pada sebuah kajian/riset terhadap suatu kebijakan penting di Papua dengan melibatkan skandal konflik kepentingan pejabat publik justru dipidanakan.
Aktivitas yang dilakukan oleh Fatia dan Haris disebut merupakan bagian dari upaya masyarakat sipil dalam mengontrol kerja pemerintah dan pejabat publik agar tak terjadi absolutisme kekuasaan. Dalam beberapa kasus pun, kerja-kerja semacam ini memang seringkali mendapatkan serangan berupa ancaman, intimidasi, teror dan kriminalisasi seperti halnya dalam kasus ini.
“Kasus kriminalisasi Fatia dan Haris ini begitu kental dengan muatan politik, apalagi saksi pelapor merupakan Luhut Binsar Pandjaitan yang notabene merupakan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi. Luhut pun terkenal memiliki pengaruh yang sangat besar di pemerintahan, sehingga Ia diduga mudah untuk mengontrol proses penegakan hukum terhadap Fatia dan Haris,” ujar Muhammad Isnur, tim hukum Fatia dan Haris.
Selain itu, Isnur menyebut, proses pemidanaan terhadap Fatia-Haris merupakan hal tak berdasar dan dipaksakan. Tim hukum menemukan sejumlah kejanggalan secara formil, Jaksa Penuntut Umum melakukan pemisahan berkas perkara pidana (splitsing) terhadap Fatia dan Haris. Hal ini menurutnya sangat janggal, sebab keduanya berada dalam satu video dan platform yang sama serta tindakan baik Fatia-Haris tidak dapat dipisahkan.
“Jika merujuk pada Pasal 142 KUHAP pun, beberapa persyaratan jelas tidak terpenuhi seperti halnya berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka. Sementara dugaan tindak pidana yang disangkakan Jaksa Penuntut Umum sama, ditegaskan dengan persangkaan pasal perbarengan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP. Penggabungan perkara juga seharusnya dilakukan karena sesuai dengan asas peradilan yakni cepat, sederhana dan biaya ringan,” katanya.
Dalam persidangan ini, Tim kuasa hukum Fatia-Haris pun telah mengajukan surat permohonan penggabungan perkara kepada Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan Jaksa Penuntut Umum. Sayangnya, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan permohonan tersebut dan menyatakan akan menyidangkan kasus ini sesuai dengan dakwaan penuntut umum. Hakim Ketua pun beralasan bahwa akan melanjutkan proses hanya karena berkas yang sudah diterima dari Kejaksaan di-split menjadi dua seperti itu.
“Dalam kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris, Jaksa tidak mengerti pembahasan dan pokok permasalahan pada masalah ini, khususnya yang disampaikan Fatia dan Luhut pada podcast. Dakwaan yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum kami lihat juga hanya berfokus dan terbatas pada ucapan Fatia dan Haris. Padahal jauh dari pada itu, video podcast yang diunggah merupakan bahasan yang mendalam berkaitan dengan riset koalisi masyarakat sipil. Hal ini sekaligus menandakan bahwa Jaksa enggan untuk menyentuh pada aspek yang lebih substansial dengan mempertimbangkan riset ekonomi-politik penempatan militer di Papua tersebut,” tambah Isnur.
Atas dasar tersebut, sudah seharusnya Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara dari Fatia dan Haris melakukan penggabungan perkara yang secara hukum sengaja dipisah berkasnya oleh Jaksa Penuntut Umum. Selain itu, Majelis Hakim seharusnya membebaskan Fatia dan Haris dari seluruh dakwaan Jaksa Penuntut Umum. (UWR)