JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Masyarakat adat Suku Awyu tengah memperjuangkan ruang hidup berupa hutan adat yang kini terancam diserobot oleh perusahaan sawit. Dalam perjuangan ini, pejuang lingkungan hidup masyarakat adat Awyu Hendrikus Woro didukung oleh organisasi pejuang hak-hak masyarakat adat dan lingkungan hidup yakni Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat bersama WALHI bahkan telah mengajukan gugatan intervensi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dalam perkara Hendrikus Woro melawan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua.
Dalam perkara ini, DPMPTSP telah menerbitkan Surat Keputusan Kepala DPMPTSP Nomor 82 Tahun 2021 Tanggal 2 November 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan Kapasitas 98 Ton TBS/Jam seluas 36.094,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.
Dalam siaran persnya di Jakarta, 17 Mei 2023, kedua organisasi ini memiliki kepentingan di pengadilan untuk membela hak masyarakat adat dan lingkungan hidup di Papua. Pemberiaan izin-izin kepada perusahaan untuk usaha perkebunan kelapa sawit dan mengkonversi kawasan hutan Papua dalam skala luas dinilai telah melanggar hak masyarakat adat dan tidak sesuai dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim.
“Penerbitan objek gugatan menunjukkan belum adanya rasa keadilan, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi,” demikian dikutip dari siaran pers Yayasan Pusaka.
Terhadap permohonan gugatan intervensi ini, majalis hakim telah menyampaikan keputusannya berkaitan dengan perkara Hendrikus Woro dan Kepala DPMPTSP Provinsi Papua.
“Dalam persidangan E-Court yang telah berlangsung, majelis hakim telah menerima gugatan intervensi kedua organisasi, persidangan akan dilanjutkan dengan agenda jawaban dari Pihak Tergugat Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua dan pihak Tergugat Intervensi PT Indo Asiana Lestari,” sebutnya.
Yayasan Pusaka menilai, wilayah yang ditetapkan menjadi konsesi PT Indo Asiana Lestari, merupakan Ekosistem Hutan Adat Awyu Woro yang memiliki peran penting terhadap peradaban masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan.
“Keberadaan hutan ini menjadi sumber air bersih bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal di dua belas kampung, yaitu kampung Bangun (Yare), Kampung Kowo, Kampung Kowo Dua, Kampung Afu, Kampung Hello, Kampung Kaime, Kampung Memes, Kampung Piyes, Kampung Watemu, Kampung Obinangge, Kampung Uji Kia, Kampung Metto. Hutan dan aliran sungai juga menjadi ruang produksi untuk berburu/memancing ikan, menangkap buaya, dan meramu sumber pangan,” ungkapnya.
Organisasi pejuang hak masyarakat adat ini menerangkan mengenai konsep tanah sebagai harapan hidup yang berkaitan erat dengan harapan hidup masyarakat asli Papua. Masyarakat adat tidak bisa hidup tanpa tanah yang hidup, bekerja dan tinggal di atas tanahnya. Oleh sebab itu, Yayasan Pusaka tidak tinggal diam dan turut berjuang bersama masyarakat adat Awyu untuk mempertahakan hutan adat mereka.
“Pengambilan wilayah adat secara sepihak sama artinya dengan mengambil seluruh kehidupan mereka. Sehingga sudah seharusnya Majelis Hakim dapat membuat keputusan yang memihak kepada masyarakat adat Papua dengan mengabulkan secara keseluruhan apa yang menjadi tuntutan masyarakat,” sebutnya.
Tak hanya itu, dalam pernyataan sikap terbaru yakni pada 19 Mei 2023, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat yang tergabung dengan Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia) juga mendesak KLHK segera membuka informasi dan partisipasi publik untuk mengakses sumber daya alam yang berkeadilan.
Lebih lanjut, koalisi menyoroti pernyataan Presiden Joko Widodo 6 Januari 2022 yang menyebutkan “komitmen pemerintah memperbaiki tata kelola sumber daya alam agar ada pemerataan, transparan dan adil, untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan dan kerusakan alam”. Oleh sebab itu, Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua menyampaikan pendapat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan antara lain:
1. Untuk transparansi dan keadilan, KLHK segera membuka informasi perkembangan tindak lanjut SK 01/MENLHK/SETJEM/KUM.1/1/2022 dan memberikan akses kepada masyarakat adat Papua untuk terlibat setiap proses klarifikasi;
2. Memulihkan hak-hak dasar masyarakat adat Papua dengan mengakuikeberadaan masyarakat adat dan hak-hak sumber dayanya untuk dapat dikelola dan dimanfaatkan secara adil dan lestari, berdasarkan hukum pengetahuan dan kelembagaan adat, serta teknologi, inovasi yang ramah sosial dan ekologi;
3. Menolak perizinan baru, tidak memberikan kemudahan perizinan, menerapkan pemberian sanksi dan disinsentifpada korporasi yang melanggar hukum serta tidak bertanggung jawab dengan membayar ganti rugi, pemulihan lingkungan;
4. Melakukan penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan deforestasi pasca penertiban dan penataan pelepasan kawasan hutan. (UWR)