JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Persoalan isu perampasan tanah pertanian dan wilayah adat mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan terutama para aktivis maupun pegiat sosial dan lingkungan. Konferensi Tenurial 2023 mengungkapkan bahwa Indonesia tengah berhadapan dengan krisis agraria dan ekologis yang semakin memburuk.
Dalam siaran pers Konferensi Tenurial 2023 di Jakarta (16/10/2023), disebutkan bahwa salah satu sorotan tajam mencermati berbagai regulasi yang semakin mempermudah dan melegalkan perampasan tanah pertanian dan wilayah adat. Erasmus Cahyadi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengungkapkan keprihatinan mendalam atas kondisi ini.
“Kita melihat pemerintah justru mengeluarkan serangkaian regulasi yang tampaknya dirancang untuk memfasilitasi investasi dan kelompok-kelompok elit bisnis dan politik. Ini mencakup revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja, UU IKN, hingga Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP),” dikutip Selasa (17/10/2023).
Sebaliknya, menurut Erasmus, regulasi yang seharusnya mendukung keadilan sosial dan lingkungan masih terbengkalai dalam pelaksanaannya. Sejumlah regulasi penting itu seperti TAP MPR IX/2001, UUPA 1960, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Perpres Reforma Agraria, dan RUU Masyarakat Adat masih belum mencapai titik penyelesaian yang memadai.
Erasmus juga menegaskan bahwa satu dekade pemerintahan Presiden Jokowi belum mampu memenuhi janji Nawacita. Reforma agraria, yang seharusnya menjadi pilar kesejahteraan bagi seluruh rakyat, tidak hanya gagal, melainkan juga meninggalkan rakyat semakin terpinggirkan.
Sementara itu, Zenzi Suhadi selaku Direktur Eksekutif Nasional dari WALHI mengungkapkan dampak negatif dialami masyarakat dan lingkungan sebagai akibat dari pembangunan yang terus menerus dilakukan dan hanya mengutamakan kepentingan pemodal.
“Model pembangunan yang terus-menerus mementingkan modal dan kepentingan korporasi besar telah menjadi biang kerusakan alam, meningkatkan bencana ekologis, dan memicu konflik sosial yang meresahkan. Tapi masalahnya tidak hanya sebatas lahan yang hilang; masyarakat juga kehilangan pengetahuan lokal serta kekayaan tradisional yang selama ini menjadi penjaga alam dan sumber daya alam. Itu adalah kerugian yang sulit diukur,” jelasnya.
Senada dengan itu, catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (2015-2022), yang menyebutkan setidaknya 2.710 konflik agraria yang telah merugikan 5,88 juta hektar lahan. Konflik-konflik ini berakar dari berbagai sektor, termasuk bisnis, pembangunan infrastruktur, pertambangan, hingga proyek-proyek strategis nasional dan destinasi pariwisata mewah.
Hal yang sama juga disampaikan Dewi Kartika, Ketua Steering Committee (SC) Konferensi Tenurial 2023, yang juga menaruh prihatin atas kondisi krisis agraria dan ekologis yang terjadi.
“Situasi ini adalah hasil kebijakan ekonomi-politik dan hukum yang lebih memihak kepada kepentingan liberal dan kapitalistik. Tanah-tanah milik rakyat, kekayaan agraria, dan sumber daya alam telah dijadikan komoditas yang dapat dikuasai secara paksa demi kepentingan investasi dan beragam bisnis berukuran besar,” katanya.
Adapun Konferensi Tenurial 2023 adalah panggung besar yang menyatukan lebih dari 800 peserta dari seluruh penjuru negeri Indonesia. Mereka bukan sekadar peserta, melainkan para pemandu suara dari akar rumput yang telah berkumpul untuk berbicara dan membawa semangat perubahan dan keadilan.
Konferensi ini resmi dibuka pada 16 Oktober 2023 di Gedung Serbaguna Senayan GBK dengan tema “Mewujudkan Keadilan Sosial dan Ekologis Melalui Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Disebutkan, konferensi ini adalah wadah bagi para pemikir, pemimpin, dan aktivis perubahan sosial untuk menjelajahi isu-isu kritis yang telah mengakibatkan ketidaksetaraan, konflik agraria, kerusakan alam, dan penyebaran kemiskinan struktural yang semakin meluas. (UWR)