JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Ombudsman RI menindaklanjuti laporan dugaan maladministrasi terkait proses penunjukan Penjabat (Pj) Kepala Daerah oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Laporan ini dilaporkan oleh 3 lembaga yakni KontraS, ICW dan Perludem.
Dalam laporan akhir pemeriksaan laporan, anggota Ombudsman RI Robert Endi Na Jaweng mengatakan, Ombudsman menemukan maladministrasi berlapis terkait proses penunjukan Pj kepala daerah. Robert menyebutkan terdapat 3 maladministrasi yang dilakukan Kemendagri.
Ketiganya adalah Pertama, penundaan berlarut atas permohonan informasi dan keberatan terlapor. Kedua, penyimpangan prosedur dalam pengangkatan Pj kepala daerah dan maladminitrasi ketiga yakni pengabaian kewajiban hukum ditemukan dalam pelaksanaan putusan MK sebagai momentum untuk penataan regulasi turunan.
Terkait dengan pengangkatan yang berasal dari unsur TNI/Polri aktif, Robert menjelaskan bahwa pada proses pengangkatan tersebut tidak melibatkan pihak-pihak terkait.
“Dalam proses pemeriksaan kami, tentu yang diperiksa ini tidak hanya pihak Kemendagri, tetapi juga unsur polisi kemudian TNI dan berbagai pihak. Kami mendapatkan keterangan yang sangat jelas, bahwa proses pengangkatan ini ternyata memang tidak melibatkan mereka, tidak diberitahukan apalagi mendapatkan persetujuan,” ucap Rober dalam diskusi Penunjukan Pj Kepala Daerah Pasca Rekomendasi Ombudsman secara virtual, Kamis (4/8/2022).
Ia pun menjelaskan, pada dasarnya, tentara dan polisi hanya bekerja di lingkungan profesi tentara dan polisi, keduanya hanya bekerja di 10 kantor atau bidang yang berkaitan dengan urusan keamanan. Hal ini menurutnya merujuk pada UU TNI, UU Polri dan UU ASN.close
“Jika kemudian mereka bekerja di luar ini perintahnya adalah termasuk kaitan dengan undang-undang ASN mereka itu harus pensiun dini intinya adalah bukan mereka ya dalam ikatan jabatan dinas aktif,” papar Robert.
“Ketika tadi proses pengangkatan tidak melibatkan tidak diberitahu apalagi mendapatkan persetujuan tentara dan polisi dan kemudian ketika ternyata yang diangkat penjabat itu masih merupakan pejabat yang terikat dalam jabatan dinas aktif, maka ini akan disebut minimal dua ini ini akan penyimpangan prosedur, ini temuan kedua,” sambungnya.
Menindaklanjuti temuan ini, Ombudsman akan melakukan tindakan-tindakan korektif yaitu, Pertama, menindaklanjuti surat pengaduan dan substansi keberatan terlapor. Kedua, Ombudsman memperbaiki proses pengangkatan penjabat kepala daerah dari unsur prajurit TNI aktif dan Ketiga, Ombudsman menyiapkan naskah usulan pembentukan PP terkait proses pengangkatan, lingkup kewenangan, evaluasi kinerja hingga pemberhentian Pj kepala daerah.
“Kami tidak saja, apa yang dimintakan oleh MK untuk dibuat peraturan tapi juga jenis peraturan atau bentuk payung hukumnya itu juga harus tepat,” katanya.
Robert menegaskan bahwa aturan teknis pelaksanaan penunjukan Pj Kepala Daerah harus diterbitkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), bukan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri).
“Ombudsman melihat payung hukum yang paling tepat adalah PP, bukan Permendagri,” ujar Robert.
Robert menjelaskan empat alasannya yakni Pertama, sesuai mandat Pasal 86 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa persyaratan dan masa jabatan penjabat gubernur dan bupati/wali kota diatur dalam peraturan pemerintah.
Kedua, pemangku otoritas yang mengangkat penjabat kepala daerah bukan hanya Mendagri, namun juga Presiden. Ketiga, materi muatan yang akan direvisi dalam aturan teknis terkait dengan materi muatan yang ada di sejumlah PP.
Keempat, materi muatan aturan teknis Pj kepala daerah bukan hanya mengatur soal pengangkatan, tapi juga diatur kewenangan berikut batas-batasannya.
“Jadi pengaturannya harus selevel PP. Payung hukumnya harus kuat. Bahkan soal kewenangan semestinya disusun dalam undang-undang, tapi kan kita realistis juga karena penyusunan UU itu memakan waktu lama. Maka paling tidak ya PP,” ujar Robert. (UWR)