JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) telah menggelar Sidang Pengucapan Putusan Nomor 115/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Tambrauw yakni Undang-undang Nomor 14 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat pada Selasa (31/1/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Perkara ini diajukan oleh pemohon yakni Bupati dan Wakil Bupati Manokwari, Hermus Indou dan Edi Budoyo yang mengujikan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU Tambrauw yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (3), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Selain itu, Pimpinan DPRD Manokwari yaitu Yustus Dowansiba, Norman Tambunan, dan Bons Sanz Rumbruren turut menjadi pemohon dalam perkara ini.
Berlakunya UU Tambrauw menyebabkan pemindahan 4 distrik, yakni Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani dari wilayah pemerintahan Kabupaten Manokwari ke wilayah pemerintah Kabupaten Tambrauw. Hal ini berakibat pada pembelengguan dan pengebirian aspirasi masyarakat adat Suku Meyah dan Suku Mpoor sebagai pemilik tanah ulayat yang berdiam dan menetap pada keempat distrik tersebut.
Padahal secara rumpun, bahasa, dan adat istiadat serta budaya berbeda dengan masyarakat yang ada pada enam distrik lainnya, yakni Distrik Fef, Distrik Sausafor, Distrik Kwoor, Distrik Abun, Distrik Yembun, dan Distrik Miyah.
Para Pemohon menilai pasal tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (3), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitum permohonan provisi meminta Mahkamah agar memerintahkan Presiden RI dan DPR RI untuk menunda pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya sampai adanya Putusan atas permohonan ini.
Akan tetapi, pada sidang pengucapan putusan perkara, MK menyatakan menolak seluruh permohonan pengujian Undang-undang Nomor 14 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat. Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pertimbangan hukum Mahkamah atas putusan itu dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman didampingi hakim konstitusi lainnya.
Saldi Isra menyampaikan bahwa pengaturan cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw yang ada pada UU Tambrauw melalui Putusan MK Nomor 127/PUU-VII/2009 telah dilakukan perubahan dengan memasukkan lima distrik, yakni Distrik Amberbaken, Kebar, Senopi, dan Mubrani dari Kabupaten Manokwari dan Distrik Moraid dari Kabupaten Sorong.
Menurutnya, hal ini dilakukan untuk mewujudkan kepastian hukum, tertib administrasi, dan meningkatkan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari, dan Kabupaten Tambrauw dengan disahkannya UU Tambrauw sebagai perubahan dari UU 56/2008 (UU Tambrauw sebelum perubahan).
“Dengan demikian, pada norma terbaru maka cakupan wilayah Kabupaten Tambruw terdiri atas 11 distrik, yakni Distrik Fef, Miyah, Yembun, Kwoor, Sausapor, Abun, Ambarbaken, Kebar, Senopi, Mubrani, dan Moraid. Sedangkan batas wilayah Kabupaten Tambrauw telah tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) UU Tambrauw,” ujarnya seperti dilansir dari laman resmi MKRI, Selasa (31/1/2023).
Selanjutnya berkenaan dengan batas wilayah Kabupaten Tambrauw sebagaimana termuat dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU Tambrauw, MK pun telah memutus melalui Putusan MK Nomor 105/PUU-XII/2013 dan Putusan MK Nomor 11/PUU-XVIII/2019 yang juga menyatakan tentang batas wilayah ini.
“Maka berdasarkan pertimbangan hukum dalam beberapa putusan tersebut, masalah yang dimohonkan Pemohon menjadi kewenangan pembuat undang-undang (DPR) untuk membagi dan menentukan wilayah termasuk batas-batas daerahnya,” ujarnya.
“Berdasarkan perimbangan hukum, dalil Pemohon mengenai cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw tidak termasuk Distrik Amberbaken, Kebar, Senopi, dan Mubrani serta penyesuaian batas-batas wilayahnya sebagaimana termaktib dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU Tambrauw yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak menghormati hak masyarakat tradisional sebagaimana disebutkan Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” sebut Saldi. (UWR)