JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menekankan pentingnya kebijakan afirmasi di bidang kesehatan untuk wilayah Papua. Dia mengungkapkan ketersediaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan di tanah Papua masih jauh dibandingkan kota besar seperti Jakarta dan Bandung,
“Kesehatan ini masalahnya ada di daerah pinggiran. Kalau Jakarta dan Bandung ini sudah selesai karena rumah sakit di Jakarta ini sudah ada teknologi paling mutakhir, tapi bagaimana dengan wilayah seperti di Papua, wilayah di daerah jauh?” ungkap Muhadjir dalam Pertemuan Nasional Fasilitas Kesehatan 2023 dan Launching Transformasi Mutu Layanan Program JKN, dikutip dari CNBC, Senin (2/10/2023).
Menko PMK menuturkan, membangun pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) di wilayah Papua juga membutuhkan biaya yang jauh lebih besar yakni sekitar enam kali lipat dibandingkan dengan di Pulau Jawa.
“Puskesmasnya juga nggak tahu seperti apa karena pesawat tidak bisa landing di situ. Yang seperti ini kami perlu ada afirmasi. Kalau tidak ada afirmasi, jangan harap Universal Health Coverage (UHC) bisa direalisasi, dan ini contoh kecil saja,” katanya.
Selain itu, Muhadjir juga mengungkapkan minimnya tenaga dokter yang bertugas di wilayah Papua. Menurutnya, hanya ada satu dokter di setiap puskesmas di 3 kecamatan wilayah Papua dan belum tentu dokter tersebut masih bertugas.
Ia menyebut, masalah ini akan terselesaikan jika infrastruktur dan tenaga pendukung memadai. Oleh sebab itu, Muhadjir meminta adanya afirmasi dari Kementerian Kesehatan.
“Harus ada afirmasi, misalnya saya usul ke Menteri Kesehatan, misalnya dokter di sana itu kalau mereka hanya digaji 1 juta atau ada tunjangan yang sebenarnya juga nggak mahal, itu nggak akan berangkat. Kalau dia digaji 6 kali lipat mungkin mereka mau berangkat ke Papua,” ucap Muhadjir.
Pernyataan Menko PMK tersebut sejalan dengan Data Sistem Informasi SDM Kesehatan (SISDMK) pada 2020 yang menyebutkan bahwa Provinsi Papua dan Papua Barat menjadi provinsi dengan persentase Puskesmas tanpa dokter tertinggi.
Rinciannya, Provinsi Papua (48,18 persen), diikuti oleh provinsi Papua Barat (42,07 persen) dan provinsi Maluku (23,45 persen). Hal itu diungkapkan oleh Ketua Panja tentang RUU Kesehatan Emanuel Melkiades Laka Lena saat penyerahan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan diskusi publik RUU kesehatan di gedung Ombudsman Jakarta Selatan, Selasa (11/4/2023).
Emanuel menyampaikan secara nasional masih ada 6,9 persen Puskesmas di Indonesia tanpa dokter. Menurutnya, masalah ketersediaan dokter di puskesmas ini juga menunjukkan adanya ketimpangan atau gap dengan di wilayah perkotaan dan daerah tidak tertinggal seperti DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Provinsi Bali, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang tidak ada Puskesmas tanpa dokter.
“Berdasarkan data, 6,9 persen itu Puskesmas tidak memiliki dokter. Tertinggi di Papua sekitar 48 persen. Jadi hampir setengah dari Puskesmas di Papua itu tidak ada dokter. Jadi di aspek yang lain, misalnya Pak Jokowi sudah sukses membuat satu harga untuk energi atau BBM. Tapi, gambaran faktual di Papua 48,18 persen itu Puskesmas tanpa dokter,” ujar Emanuel, dikutip dari Kompas, Selasa (11/4/2023).
Masalah ketimpangan ini juga diungkapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Ketua KKO Taruna Ikrak mengatakan, jumlah dokter dengan densitas sangat tinggi berada di kota-kota besar, tetapi sangat minim di daerah perifer atau perdesaan. Kondisi ini diperparah kalau melihat keadaan geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.”
“Ketimpangan distribusi menyebabkan ribuan pulau tidak memiliki dokter seorang pun. Kondisi ini tentu membahayakan keselamatan masyarakat yang berada di daerah tersebut,” ungkap Taruna melalui artikelnya yang berjudul ‘Mengurai Benang Kusut Dokter Indonesia’, dikutip dari situs resmi KKI (1/7/2022). (UWR)