JAGAINDONESIA.COM – Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyampaikan temuan terkait terjadinya deforestasi atau penggundulan hutan di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya dan Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat dalam kurun waktu Januari hingga Februari 2023. Dalam siaran persnya, Selasa (21/3/2023), Yayasan Pusaka menyebut total hutan yang lenyap di daerah itu mencapai 413 hektare.
Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Franky Samperante mengatakan deforestasi itu terjadi diduga untuk kepentingan usaha perkebunan kelapa sawit beberapa perusahaan di wilayah itu.
“Hari ini, pengrusakan dan penggundulan hutan di Indonesia masih terus terjadi oleh karena kepentingan bisnis komersial hasil hutan kayu dan lahan usaha perkebunan. Di Papua, pemantauan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat terhadap perubahan tutupan hutan, ditemukan adanya deforestasi, penggundulan hutan yang diduga untuk usaha perkebunan kelapa sawit di areal perusahaan PT Inti Kebun Sejahtera dan PT Inti Kebun Sawit, Kabupaten Sorong, dan di areal PT Subur Karunia Raya, Kabupaten Teluk Bintuni,” ungkap Franky di Jakarta, Selasa (21/3/2023).
“Total hutan yang hilang sejak Januari hingga Februari 2023 sekitar 413 hektar,” kata Franky menambahkan.
Menurut Franky tiga perusahan tersebut terdaftar sebagai perusahaan yang dicabut izin konsesinya oleh Menteri LHK, namun masih beraktivitas. Hal itu menunjukkan deforestasi masih berlangsung di tanah Papua mengingat Catatan Akhir Tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, 2023, menyebutkan deforestasi di Papua pada tahun 2022 terpantau seluas 19.426 hektar, dan seluruhnya berasal dari aktivitas bisnis pembalakan kayu dan perkebunan kelapa sawit.
“Pemerintah seharusnya mengakui, menghormati dan melindungi keberadaan pengetahuan dan hak-hak masyarakat adat untuk menguasai, mengatur, mengelola dan memanfaatkan hutan adat, dengan menghasilkan dan menjalankan kebijakan peraturan dan program bagi masyarakat adat dan pengelolaan hutan adat yang adil dan berkelanjutan,” kata Franky di momentum Hari Hutan Sedunia yang jatuh tepat pada hari ini, Selasa, 21 Maret 2023.
Ia menuturkan, dalam berbagai percakapan pembangunan seringkali keberadaan hutan dipandang sebagai tegakan pohon dan kayu saja, sehingga isinya dapat dikuras menjadi komoditi ekonomi kayu, perdagangan karbon dan atau dialih fungsi untuk menjadi lahan usaha perkebunan, pertambangan dan sebagainya.
“Paradigma dan praktik pembangunan pemanfaatan hasil hutan sebagai komoditi komersial ini telah menghancurkan dan menghilangkan hutan dalam skala luas, menimbulkan bencana ekologi, perubahan iklim, yang pada gilirannya menyingkirkan masyarakat adat dan masyarakat lokal yang berada dan berdiam di sekitar kawasan hutan atas sumber kehidupannya, sehingga terjadi konflik kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia,” katanya.
Terlebih, lanjutnya, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim dan Persetujuan Paris, yang diantaranya mewajibkan negara mengambil upaya-upaya pencegahan untuk mengantisipasi, mencegah atau meminimalisir penyebab perubahan iklim dan mitigasi dampak buruk yang dihasilkannya dan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca.
Selain itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) juga telah menetapkan keputusan Nomor SK.168/MENLHK/PKTL/PLA.1/2/2022 tentang Rencana Operasi Indonesia’s Forest and Other Land Use Net Carbon Sink (FOLU Net Sink) 2030 untuk pengendalian perubahan iklim, yang diantaranya mempunyai sasaran untuk mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan.
Franky menilai, deforestasi di Papua berpotensi bertambah luas seiring dengan adanya rencana pemberian izin baru, perluasan areal usaha perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri, penegakan hukum yang lemah dan kebijakan pengembangan daerah otonomi baru.
“Pusaka Bentala Rakyat berpandangan bahwa hutan bukan hanya kayu dan sumber lahan untuk komoditi komersial saja, melainkan memiliki keragaman fungsi ekologi, sosial budaya, ekonomi, dan sebagainya, yang seharusnya ditata dan dikelola secara lengkap memadai. Masyarakat adat Papua yang hidup disekitar dan dalam kawasan hutan mempunyai kemampuan pengalaman, norma dan pengetahuan yang diwariskan untuk mengelola dan memanfaatkan hutan adat,” ungkapnya.
Dirinya berharap pemerintah dapat menyegerakan penertiban dan upaya penegakan hukum secara sungguh-sungguh dan kuat atas izin-izin perusahaan yang telah dicabut izin konsesi di kawasan hutan. Hal itu mengingat lampiran putusan SK Menteri LHK Nomor SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan, terdaftar 48 perusahaan konsesi kehutanan yang dilakukan pencabutan izin dengan luas konsesi 1.063.100 hektar.
“Sejauh ini belum ada informasi yang disampaikan evaluasi, penegakan hukum dan pemberian sanksi atas perusahaan dimaksud. Justru ditemukan adanya upaya pemberian izin baru dalam kasus PT Sorong Global Lestari di Kabupaten Sorong, dan aktivitas penggundulan hutan untuk perluasan areal perkebunan kelapa sawit,” ujarnya.
“Kami mendesak kepada negara dan korporasi untuk menghormati dan melindungi keberadaan dan aktivitas Pembela HAM Lingkungan, mereka yang berjuang di akar rumput dan di garis depan penjaga hutan, maupun aktivis membela dan memperjuangkan HAM dan lingkungan,” tutup Franky. (UWR)